Quranic of Law Attraction
Masukkan Password
1. PADA MULANYA ADALAH MENGETAHUI
Saya sangat beruntung berkenalan dengan buku The Secret dan Law of Attraction (masing-masing karya Rhonda Byrne dan Michael J. Losier—peny.). Kedua buku tersebut mengusik hati terdalam saya. Saya menjadi semakin bertambah penasaran. Tanpa membutuhkan waktu lama, hanya dalam tiga hari, saya melahap habis kedua buku tersebut. Saya terperanjat. Tiba-tiba, saya menyadari bahwa isi kedua buku tersebut benar-benar “ajaib”.
Yang lebih membuat saya terkejut adalah ternyata ajaran kedua buku tersebut telah dipaparkan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw beberapa abad silam. Bahkan, jika kita benar-benar memahami Al-Qur’an dan sunah Nabi, kita pasti menemukan banyak Hukum Ketertarikan di dalamnya.
Penjelasan-penjelasan dan bukti-bukti Hukum Ketertarikan di dalam Al-Qur’an jauh lebih baik, lebih sempurna, dan tidak menyesatkan. Al-Qur’an pun memandu kita untuk memanfaatkan Hukum Ketertarikan dengan sangat baik dan sangat sederhana. Semua orang dapat mempraktikkannya. Dengan mencapai tingkatan ini, saya yakin kita akan terbimbing menuju “stasiun” kesuksesan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Oleh sebab itu, saya menyarankan: pelajarilah (kemudian praktikkanlah) Hukum Ketertarikan yang sesuai dengan nilai-nilai Al-Qur’an agar kita tidak tersesat menjalani kehidupan ini. Sekali lagi, kita akan mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam buku ini, akan saya tunjukkan kepada Anda kekuatan Hukum Ketertarikan dalam Al-Qur’an yang selanjutnya (sekali lagi) menuntun Anda menuju kesuksesan dan kebahagiaan hidup selama-lamanya. Insya Allah. Mari kita mulai!
Apakah Law of Attraction (Hukum Ketertarikan) Itu?
Mungkin sebagian Anda merasa kecewa dengan penghasilan sekarang ini. Padahal, Anda sudah banting tulang mengejar rezeki. Akan tetapi, sampai saat ini, Anda tak kunjung mendapatkan kesuksesan. Anda merasa kecewa. Setiap hari Anda meratapi apa yang terjadi dalam kehidupan Anda.
Anda mengejar uang, tetapi uang justru tak mau mendekat pada Anda. Kalaupun Anda mendapatkan uang, rasanya selalu tak cukup. Anda pun tak pernah merasakan kebahagiaan dengan pendapatan saat ini. Ada apa sebenarnya?
Setiap pagi, Anda bangun dengan penuh rasa kecewa. Dalam pikiran Anda terekam bahwa Anda tak mungkin menjadi kaya. Karena memang, setiap hari, Anda selalu mengalami hal yang sama: rezeki susah diperoleh. Pikiran-pikiran seperti itu kerap mengawali kehidupan Anda. Setelah bergulat dengan pikiran tersebut, Anda tak juga mendapatkan uang, alias tetap berpenghasilan pas-pasan.
Pada pagi hari, mungkin saja Anda bangun dengan penuh keceriaan. Anda yakin hari ini akan mendapatkan pelanggan yang mau bergabung dengan bisnis Anda. Anda juga yakin jualan Anda akan laku keras. Anda pun bangun pagi dengan penuh senyuman.
Anda shalat Subuh, berdoa memohon kemudahan pada-Nya, menyapa istri dan anak-anak. Kemudian, Anda pergi menemui pelanggan-pelanggan Anda dengan penuh optimisme dan percaya diri. Hasilnya, ajaib! Anda pun memperoleh banyak keuntungan atau hasil penjualan Anda memuaskan.
Mungkin juga, ketika Anda menelepon teman lama, tiba-tiba saja ia mengatakan bahwa ia akan menelepon Anda. Pada momen lain, ketika Anda menghadiri sebuah acara, tiba-tiba Anda mendapatkan door prize, hadiah mobil misalnya. Anda kemudian menyadari bahwa peristiwa itu pernah terbayangkan sebelumnya dan sekarang imajinasi Anda menjadi kenyataan.
Beberapa ilustrasi di atas menunjukkan bahwa Hukum Ketertarikan sedang bekerja dalam kehidupan kita. Ia ada dan dapat kita rasakan dalam setiap embusan napas kita. Cuma, kita kurang merespons atau tidak menyadarinya.
Jadi, apa sesungguhnya Hukum Ketertarikan itu?
“Segala sesuatu yang kita pikirkan dengan penuh perhatian, energi, dan konsentrasi pikiran, baik hal yang positif maupun negatif, akan datang ke dalam kehidupan kita.” Itulah definisi Hukum Ketertarikan, seperti yang dituliskan dengan jenius oleh Michael J. Losier (2007).
Hukum Ketertarikan akan memberikan respons apa pun yang Anda pancarkan dengan mendatangkan getaran (pikiran dan perasaan) yang lebih banyak, tak peduli getaran itu positif atau negatif. Hukum itu semata-mata hanya merespons getaran Anda. Sederhananya, “saat kita memikirkan sesuatu,” hukum itu berbunyi, “kita sedang menarik sesuatu itu ke arah diri kita.”
Erbe Sentanu, seorang penulis, memaparkan bahwa melalui kekuatan Hukum Tarik-Menarik (sinonim dari Hukum Ketertarikan), Anda menarik apa pun yang paling sering Anda pikirkan, apakah Anda menginginkannya atau tidak. Jadi, jika Anda selalu memikirkan apa “yang Anda suka”, hidup Anda akan dipenuhi oleh hal itu. Sebaliknya, jika Anda selalu memikirkan hal-hal “yang tidak Anda sukai” maka yang terjadi dalam hidup Anda pun akan mencerminkan hal itu (Quantum Ikhlas: 51).
Sehingga, kita harus berhati-hati ketika memikirkan kehidupan kita. Tatkala kita berpikir bahwa hidup kita tidak akan mungkin mencapai kebahagiaan karena dilahirkan dari keluarga miskin, alam sekitar akan merespons ucapan kita itu. Karena tanpa sadar, kita mengundang energi negatif memasuki alam bawah sadar kita. Hidup kita pun tidak mengalami perubahan alias miskin terus-menerus. Kita tidak menginginkannya secara permanen, bukan?
Oh ya, saya ingin memberikan satu contoh lagi bahwa Hukum Ketertarikan itu ada dan nyata. Mungkin saja di antara kita ada yang pernah mengalami kecopetan saat berada di pasar. Biasanya, peristiwa ini melanda kaum ibu. Pasalnya, sebelum berangkat ke pasar, kita selalu membayangkan dan dihantui bayangan para pencopet. Tanpa kita sadari, kita mengundang para pencopet untuk mendekati diri kita. Alhasil, boleh jadi, kita pun mengalami kecopetan.
James Ray, salah satu pemikir terkenal, memakai metafora menarik mengenai penggambaran Hukum Ketertarikan.
Bayangkanlah, dunia ini seperti kisah lampu Aladin di dalam “Dongeng 1001 Malam”. Bayangkan, saat diri kita membutuhkan sesuatu, kita tinggal menggosok lampunya, maka akan muncul jin ajaib dan berkata pada kita, “Your wish is my command” (harapan Anda adalah perintah untuk saya). Bayangkanlah alam semesta mengatakan hal tersebut kepada diri Anda.
Saya pun pernah merasakan bekerjanya Hukum Ketertarikan dalam kehidupan nyata. Empat tahun silam, sebelum hijrah ke Jakarta, saya menduga bahwa hidup di rimba metropolitan ini penuh dengan tindakan kriminal. Saya selalu diingatkan oleh ibu saya supaya berhati-hati hidup di kota besar ini. Bahkan, kalau sedang tersesat, bertanyalah pada polisi atau petugas lainnya. Peringatan ibu saya, “Jangan sekali-kali bertanya pada orang yang tidak dikenal!” Alias, “Jangan bertanya pada orang lain, kecuali petugas.”
Saya tidak serta-merta mencerna nasihat ibu saya tersebut. Karena, orangtua memang selalu mengkhawatirkan anaknya yang akan merantau, keluar dari tanah kelahiran. Dalam benak saya, di mana pun kita hidup, asalkan kita berbuat kebaikan, pasti orang lain akan membalas dengan kebaikan pula.
Setelah saya berada di Jakarta dan beberapa kali nyasar, saya memberanikan diri bertanya pada orang lain. Saya yakin mereka tidak mungkin menipu saya. Yang penting kita memberikan senyum, bertanya dengan santun, insya Allah, mereka pun akan memberikan informasi yang benar. Alhasil, begitulah yang terjadi, mereka santun dan tidak menipu saya.
Berbeda dengan saya, teman saya justru sering mengalami penipuan. Pasalnya, ia selalu mencurigai setiap orang yang ia temui di jalan. Pada suatu saat, ia memberanikan diri bertanya pada orang yang tidak dikenal, eh, ia terkena tipu. Ternyata, sebelum bertanya, ia telah berpikir (getaran) negatif, ia pun bertanya dengan penuh ketakutan dan kecurigaan. Alhasil, orang yang ia tanyakan benar-benar seorang penipu. Sungguh naas.
Demikianlah Hukum Ketertarikan merespons kehidupan kita. Hukum itu ada dan benar-benar nyata. Sayangnya, sebagian di antara kita belum memahami benar bagaimana caranya berkompromi dengan hukum tersebut. Tak hanya sampai di situ, bagaimana kita mendayagunakan hukum tersebut untuk menuju kebahagiaan dan kesuksesan hidup pun penting untuk kita pahami.
Tak perlu khawatir. Jangan takut dan gelisah! La tahzan! Dalam Al-Qur’an, telah banyak dipaparkan tata cara pengelolaan diri, terutama pikiran dan perasaan, untuk mencapai kebahagiaan dan kesuksesan hidup yang sesuai dengan Hukum Ketertarikan.
Mutiara-mutiara dalam Al-Qur’an telah memberikan pembahasan yang indah dan mendalam mengenai hukum ini. Anda penasaran? Silakan Anda telusuri pembahasan buku ini. Insya Allah. Anda akan mendapatkan pencerahan dalam kehidupan. Amin!
Al-Qur’an Sumber Hukum Ketertarikan?
Mungkin Anda tercengang ketika membaca judul buku ini. Qur’anic Law of Attraction. Mungkin juga berbagai pertanyaan menari-nari di kepala Anda. Benarkah Al-Qur’an telah menggali seluk-beluk Law of Attraction? Kalau memang benar, ayat-ayat apakah yang menguatkannya? Lalu, bagaimana mendayagunakan Al-Qur’an untuk menemukan kebahagiaan dan kesuksesan?
Apa yang Anda pikirkan juga terpikirkan dalam benak saya. Pada awalnya, saya menduga Al-Qur’an hanya berbicara mengenai surga dan neraka, landasan hukum fikih, kisah para nabi dan rasul beserta kaumnya, dan sebagainya.
Saya tak henti-hentinya menduga bahwa Al-Qur’an tidak mempunyai dampak yang luar biasa pada kehidupan seseorang. Buktinya, betapa banyak kita membaca Al-Qur’an tapi kita tak kunjung mengalami perubahan. Kalaupun ada, hanya segelintir orang. Jarang sekali yang mengalami perubahan dengan hanya membaca Al-Qur’an.
Diam-diam, tanpa berpikir macam-macam, saya tersadar. Saya mulai penasaran mencari jawaban atas semua pertanyaan itu. Tanpa pikir panjang, saya berinisiatif mencari seluk-beluk Law of Attraction dalam Al-Qur’an. Di tengah malam saat ketenteraman malam, saya membuka kembali file-file catatan harian saya, lalu saya ingat-ingat ajaran-ajaran Al-Qur’an yang terkait dengan jalan hidup saya. Saya sambungkan simpul-simpul catatan saya dengan mushaf Qurani.
Aha! Ternyata dugaan saya tepat. Hal-hal yang saya alami dalam kehidupan ini ternyata sesuai dengan hukum-hukum Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an. Saya merasakan apa yang saya jalani selama ini ternyata sudah tertulis dalam Al-Qur’an.
Sebagai contoh, ketika saya menjelek-jelekkan orang lain, eh, malah saya mendapatkan balasan dari Allah. Saya pun dijelek-jelekkan oleh orang lain. Ketika saya memberikan sedekah pada peminta-minta, beberapa hari kemudian saya justru mendapatkan rezeki sepuluh kali lipatnya. Allah telah melipatgandakan rezeki yang kita syukuri.
Mungkin inilah sinyalemen Allah bahwa perbuatan buruk akan dibalas dengan keburukan pula. Begitupun, kebaikan akan berbalas kebaikan sesuai dengan prinsip Hukum Ketertarikan. Bahkan, Allah akan melipatgandakan ganjarannya dan meninggikan martabatnya.
Mengenai Hukum Ketertarikan, Al-Qur’an telah memaparkannya dengan gamblang. Coba kita perhatikan salah satu ayat berikut ini.
“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan, barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya,” (Q.S. Az-Zalzalah [99]: 7-8).
Ayat di atas semakin memperkuat bahwa Hukum Ketertarikan telah ada sejak Al-Qur’an diwahyukan kepada Baginda Muhammad saw. Coba kita renungkan, selami, dan hayati maksud ayat di atas: kebaikan akan berbalas kebaikan, keburukan akan berbalas keburukan.
Betapa Allah telah mengingatkan kita untuk selalu berpikir positif (kebaikan) dan memancarkan kebaikan itu pada orang-orang di sekitar kita. Hasilnya, orang-orang sekitar kita atau alam semesta akan memberikan pula kebaikannya pada diri kita. Kebaikan dibalas kebaikan.
Allah senantiasa memerintahkan kita untuk berlomba-lomba menebarkan kebaikan (fastabiqil-khairat). Allah sangat melarang kita berbuat keburukan (sayyiat) dan kerusakan (fasad). Bahkan, kepada orang yang selalu berbuat jahat, kita pun harus bersikap baik padanya. Misalnya, kita diperintahkan melawan kejahatan “dengan cara yang lebih baik” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 96, Q.S. Fushshilat [41]: 34), berdebat “dengan cara yang baik” (Q.S. An-Nahl [16]: 125). Dalam setiap detik kehidupan, kita diarahkan untuk memancarkan cahaya kebaikan dan merembetkan getaran kebajikan ke alam semesta.
Dalam ayat lain, Allah telah mengukuhkan bahwa manusia seharusnya meyakini akan adanya Hukum Ketertarikan dalam kehidupan ini. Menarik bukan? Masya Allah, mari kita simak firman Allah berikut ini.
“Dia-lah yang menjadikan bumi untukmu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan,” (Q.S. Al-Mulk [67]: 15).
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan,” (Q.S. Al-Qashash [28]: 77).
Di manakah letak Hukum Ketertarikan kedua ayat di atas? Mari kita telusuri…
Perhatikan penggalan ayatnya: Dia-lah yang menjadikan bumi untukmu yang mudah dijelajahi. Pernyataan Allah ini didahului oleh pikiran positif. Allah memberikan keyakinan pada kita bahwa hidup ini mudah, tidak susah. Kita tidak perlu memikirkan kesusahan dalam hidup. Rasakan bahwa hidup ini mudah. Dengan pernyataan tersebut, getaran positif telah terpancarkan ke alam sekitar.
Kemudian, Allah melanjutkan firman-Nya: jelajahilah. Maksudnya, kita diperintahkan untuk berusaha dengan penuh hasrat atau keceriaan (bahwa hidup itu mudah). Nah, dengan mengaktifkan hasrat atau rasa ceria ketika berusaha (mencari rezeki), sesungguhnya kita telah mengizinkan limpahan rezeki memasuki hidup kita. Ini sangat sesuai dengan Hukum Ketertarikan.
Setelah kita berusaha dengan penuh hasrat, Allah menutup ayat tersebut dengan sikap pasrah atau penyerahan diri pada Allah (tawakal). Saat itu, kita semakin optimistis bahwa kita akan mendapatkan banyak rezeki dalam hidup. Mungkin, hari ini kita belum memperoleh rezeki sesuai harapan kita. Namun, kita berserah pada-Nya bahwa Dia akan selalu melancarkan rezeki dalam hidup. Kita hanya membutuhkan keyakinan kuat dengan berpikir positif, berusaha, dan memasrahkan hasil akhir kepada-Nya. Pada gilirannya, di suatu titik tertentu, kita akan mendapatkan banyak nikmat kekayaan. Bahkan, kita pun menjadi lebih bahagia dengan kekayaan itu.
Perhatikan ayat berikutnya, berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sangat jelas sekali, bukan? Ada hubungan sebab akibat: kebaikan dibalas kebaikan. Dari pernyataan tersebut, sudah jelas ayat ini menguatkan Hukum Ketertarikan di alam semesta.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan manakala seluruh kehidupan kita telah tergambar di dalam Al-Qur’an. Tinggal bagaimana cara kita menemukan kehidupan kita itu dalam Al-Qur’an. Boleh jadi kehidupan Anda pun demikian: tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah tertulis dalam Al-Qur’an.
Jangan-jangan, setiap derap dan pola kehidupan yang Anda lalui sudah tertulis dengan jelas di dalamnya. Maka, jika Anda mau mengkaji Al-Qur’an, besar kemungkinan Anda akan mendapatkan rumusan kebahagiaan untuk hidup yang akan datang. Anda akan lebih memahami bagaimana menjalani kehidupan ini. Anda pun akan mengerti bagaimana menggunakan Hukum Ketertarikan yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an memberikan banyak informasi untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan hidup. Al-Qur’an bukan sekadar omong kosong belaka. Saya sendiri, alhamdulillah, telah merasakan cahaya Al-Qur’an dalam kehidupan ini. Saya pun ingin membagikannya kepada Anda melalui buku ini.
Selama ini, saya merasakan bahwa Al-Qur’an memberikan energi dalam kehidupan. Setiap kali selepas membaca Al-Qur’an, hati nurani saya bertambah cerah. Kehidupan saya yang carut-marut, tidak keruan, mulai membaik. Rezeki saya yang pas-pasan mulai tercukupi. Keadaan keluarga saya pun menjadi harmonis. Al-Qur’an seolah-olah menarik jiwa saya menuju kebahagiaan dalam kehidupan ini. Saya seperti dihujani kebahagiaan yang berlimpah.
Sebelum saya mengakrabi Al-Qur’an, hidup saya tidak punya arah. Hari demi hari yang terus berganti, seakan-akan membuat saya seperti robot kehidupan. Makan, kerja, dan tidur secara kaku. Kekayaan yang saya miliki terasa tidak ada artinya. Hidup punya banyak harta, tapi kebahagiaan tak kunjung menyelinap dalam hati ini. Saya mengalami krisis kebahagiaan. Gaji yang saya peroleh tiba-tiba habis entah ke mana. Bahkan, sering kali saya merasa sangat kekurangan. Dalam keadaan seperti itu, hati nurani saya menjerit.
Alhamdulillah, setelah memaknai hidup dengan Al-Qur’an, saya mulai menyuntikkan energi dan kekuatannya ke dalam jiwa saya. Alhasil, sekarang ini, saya bertambah bahagia. Bahkan, ketika permasalahan datang bertubi-tubi, ketenangan saya tak terusik. Tumakninah bersemayam dalam hati saya. Apa yang mesti ditakutkan? Bukankah Al-Qur’an menyediakan segala jawaban problematika hidup ini? Mengapa mesti stres? Mengapa mesti takut menjalani hidup? Enjoy aja lagi!
Terus terang, jika kita benar-benar menyuntikkan energi Al-Qur’an ke dalam jiwa, semua permasalahan dalam hidup niscaya punya jalan keluar. Kita, rasa-rasanya, sangat mudah menghadapi hidup ini. Anehnya, ada-ada saja keajaiban yang kita peroleh. Tidak disangka-sangka, eh, dapat hadiah mobil. Atau, kita tak pernah menyangka, eh, tetangga dekat kita memberikan pinjaman saat kita merasakan himpitan ekonomi. Justru dengan dekatnya diri Anda pada Al-Qur’an, insya Allah, jalan keluar pasti Anda dapatkan. Pesan Allah teramat jelas, yakni bertakwalah niscaya kita akan memperoleh solusi dalam hidup.
Tak perlu khawatir. Anda yang selama ini belum mendapatkan kekayaan, kesuksesan, dan kebahagiaan, sekaranglah saatnya Anda untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an, kemudian Anda manfaatkan energinya untuk menghidupkan kebahagiaan Anda.
Seberapa Dekatkah Kita Mengenali Al-Qur’an?
Pernah suatu saat, saya berhenti membaca Al-Qur’an dalam kurun waktu beberapa minggu. Anehnya, kehidupan saya terasa sangat sumpek. Kamar saya terasa sangat panas. Hidup saya tidak teratur. Ada apa gerangan? Saya mulai sadar bahwa semua itu karena saya menjauh dari energi Al-Qur’an.
Apakah Anda sering merasakan hal tersebut?
Tentu Anda yang belum sama sekali mengarungi samudra Al-Qur’an belum mampu merasakan perbedaannya, bukan? Oleh sebab itu, saya menulis buku ini. Saya ingin berbagi pengalaman supaya Anda (baik yang belum pernah maupun yang sudah menyelami makna Al-Qur’an) benar-benar tergugah untuk segera mendekat lebih erat dengan Al-Qur’an.
“Ya Allah, rahmatilah diriku dengan kemuliaan Al-Qur’an ini. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai pembimbing, cahaya petunjuk, serta rahmat bagiku. Kuatkanlah ingatanku pada segala sesuatu yang telah lupa. Berikanlah pengetahuan kepadaku tentang sesuatu yang aku tidak ketahui. Limpahkan rezeki-Mu kepadaku dari sebagian bacaan Al-Qur’an ini dalam menempuh kehidupanku, baik malam maupun siang. Jadikanlah Al-Qur’an ini sebagai landasan hidupku, wahai Tuhan yang menguasai semesta alam” — doa Rasulullah seusai membaca Al-Qur’an.
Di sisi lain, ada juga di antara kita yang sudah sering membaca Al-Qur’an tapi tak kunjung mendapatkan kebahagiaan. Sudah berkali-kali kita menamatkan Al-Qur’an setiap bulannya, tapi kita tak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lelah. Memang, dengan membaca Al-Qur’an, minimal kita mendapatkan jaminan surga dan kelimpahan pahala. Tapi, apakah kita hanya mengharapkan pahala dan surga dari membaca Al-Qur’an? Padahal pada kenyataannya, Al-Qur’an pun dapat memberikan kekuatan, kesuksesan, dan kebahagiaan di dunia.
Oleh sebab itu, ambillah semua peluang yang diberikan Al-Qur’an dalam kehidupan kita. Bagaimana caranya? Bacalah terus bab per bab dalam buku ini. Otomatis, Anda akan menemukan cara-cara menyuntikkan energi kebahagiaan dan kesuksesan ke dalam hidup Anda.
Mungkin saja kebanyakan kita sebagai umat Qurani belum mampu meresapi nilai-nilai Al-Qur’an yang sesungguhnya. Hasilnya, kita lebih percaya pada perkataan paranormal, nubuat “orang pintar”, hingga ramalan dengan teknologi daripada memercayai perkataan Al-Qur’an. Fenomena ini mulai kita rasakan di zaman modern ini. Untuk mengantisipasinya, tentu kita butuh pemahaman yang lebih mendalam tapi ringan dan menggugah mengenai Al-Qur’an. Buku ini, insya Allah, akan memberikan pemahaman pada Anda seluk-beluk Al-Qur’an dan kandungannya untuk kesuksesan dan kebahagiaan.
Al-Qur’an Merespons Kehendak Anda
Pernahkah Anda menginginkan sesuatu yang sangat Anda idam-idamkan? Apakah Anda sudah mendapatkannya sekarang ini? Ya atau belum. Kita sering berkehendak memiliki rumah sendiri atau berpenghasilan banyak, tapi kita lupa bahwa semua keinginan kita ada yang mengaturnya. Kita hanya butuh mewujudkan keinginan-keinginan kita melalui pertolongan dari Sang Maha Penolong.
Untuk memperolehnya, kita butuh mendekatkan diri pada Al-Qur’an. Pendekatan diri pada Al-Qur’an sangatlah mudah. Cukup kita mempelajari seluk-beluk kemuliaan Al-Qur’an, membaca, dan mengamalkannya. Hal ini sangat sesuai dengan firman Allah, “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 204).
Nah, ketika kita mau mendengarkan, memperhatikan, kemudian mengamalkannya, Al-Qur’an akan merespons setiap keinginan kita berupa rahmat. Seolah-olah kita tahu apa yang kita mau. Sebaliknya, justru ketika keinginan kita tidak sesuai dengan tuntunan Allah, Al-Qur’an akan memberikan respons pada keinginan itu. Alhasil, kita menyadari bahwa keinginan-keinginan itu justru membawa kerugian dalam kehidupan kita. Bisa saja kerugian itu menyebabkan kita tidak bahagia dalam hidup.
Law of Attraction telah diperlihatkan Allah, yaitu ketika Nabi Ibrahim akan dibakar terpanggang di atas bara api. Nabi Ibrahim meyakini bahwa Allah tidak akan tinggal diam begitu saja. Ibrahim memberikan getaran positif ke alam sekitar (ayat-ayat kauniyah), alam sekitar pun memberikan getaran balik pada Ibrahim dengan ketundukkannya pada firman Allah. Allah pun mengabadikan ungkapannya itu dalam Al-Qur’an: “Wahai api! Jadilah kamu dingin dan penyelamat bagi Ibrahim.” (Q.S. Al-Anbiya’ [21]: 69).
Keuntungannya adalah kita telah memperoleh respons Al-Qur’an sebelum kita benar-benar mewujudkan keinginan-keinginan kita. Respons Al-Qur’an bisa saja berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang menceritakan buruknya keinginan-keinginan kita. Atau, bisa saja tiba-tiba kita menemukan ayat Al-Qur’an yang memotivasi diri kita untuk segera mewujudkan keinginan-keinginan tersebut.
Atau, bisa juga, ketika kita mendapatkan masalah yang rumit, tiba-tiba saja saat membaca Al-Qur’an kita mendapatkan jalan keluarnya. Kita merasakan bahwa bacaan Al-Qur’an memberikan pencerahan terhadap permasalahan kita. Kita pun senang tidak keruan.
Respons Al-Qur’an bukan semata-mata kita percayai begitu saja. Kita butuh cara menyuntikkan kekuatan Al-Qur’an ke dalam kehidupan kita. Analoginya, bagaimana Al-Qur’an akan merespons keinginan-keinginan kita jika kita tak mau mempelajari seluk-beluk dalam Al-Qur’an? Oleh sebab itu, Anda sebaiknya menyuntikkan kekuatan Al-Qur’an dalam diri dan kehidupan Anda. Pada lembaran-lembaran berikutnya dalam buku ini, Anda akan dapati cara terbaik menginjeksi kekuatan Al-Qur’an dalam diri Anda.
Menyuntikkan Kekuatan Al-Qur’an ke dalam Nurani
Pernahkah Anda meneteskan air mata ketika menelaah ayat demi ayat Al-Qur’an? Pernahkah Anda merasakan kebahagiaan ketika menuntaskan tiga puluh juz Al-Qur’an? Atau, pernahkah Anda merasa resah ketika tidak membaca Al-Qur’an?
Kalaupun Anda belum pernah mengalaminya, PR besar bagi Anda untuk kembali menyelami Al-Qur’an. Kalaulah Anda sudah sering merasakan hal tersebut, selamat! Anda telah sedikit banyak menyuntikkan kekuatan Al-Qur’an dalam diri Anda.
Perlu kita pahami bersama, kekuatan Al-Qur’an mesti kita suntikkan ke dalam diri. Kemudian, kita suntikkan dalam kehidupan kita. Mengapa demikian? Sejak dulu, Rasulullah saw telah memberikan anjuran untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai jiwa kita. Bahkan, Rasulullah saw sendiri berjiwa Al-Qur’an. “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an,” kata Aisyah (H.R. Muslim). Dengan berjiwa Al-Qur’an, rahmat Allah akan senantiasa menyertai kehidupan kita.
“Dan ini adalah Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan dengan penuh berkah. Ikutilah (suntikkanlah—pen.) dan bertakwalah agar kamu mendapat rahmat,” (Q.S. Al-An’am [6]: 155).
Salah satu alasan perlunya menyuntikkan Al-Qur’an ke dalam jiwa kita yakni agar kita menjalani kehidupan sesuai dengan Hukum Ketertarikan. Karena, Hukum Ketertarikan adalah “sunnatullah”. Ia tunduk pada hukum-hukum Allah (“design of God”). Karena memang, Allah-lah yang mengatur segala Hukum Ketertarikan di alam semesta ini.
Mengenai hal tersebut, Allah berfirman, “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah, Dia-lah Yang Mahamulia, Maha Pengampun,” (Q.S. Az-Zumar [39]: 5).
Pengaturan alam semesta ini sesuai dengan kehendak Allah. Seluruh kehidupan kita berada di dalam genggaman-Nya. Hidup dan mati kita berada di bawah pengendalian-Nya. Bahkan, kelangsungan alam ini berada di bawah penguasaan-Nya. Oleh sebab itu, semakin kita mendekat diri kepada-Nya, semakin mudahlah kita mendapatkan apa pun di alam semesta.
Wajarlah kalau para ulama terdahulu selalu merasakan kebahagiaan ketika mereka berinteraksi dengan Al-Qur’an. Kehidupan mereka selaras, serasi, dan seimbang. Kita tidak pernah menemukan ulama menjadi stres. Bahkan, ketika mereka dizalimi oleh orang lain, mereka tetap menunjukkan kebahagiaan. Karena, mereka selalu merasa aman.
Abdullah bin Mas’ud ra. mengungkapkan, “Sesungguhnya, Al-Qur’an ini adalah perjamuan Allah. Barang siapa memasukinya maka dia aman.” (Az-Zuhd, Ibnu Mubarak, h. 272).
Kita telah membicarakan pentingnya menyuntikkan kekuatan Al-Qur’an ke dalam kehidupan kita. Lantas, bagaimana cara menyuntikkannya? Saya akan menjabarkannya di bagian selanjutnya. Silakan ikuti terus pembahasan dalam buku ini. Insya Allah, Anda akan menemukan jawabannya.
Sudut Pandang Al-Qur’an Mengenai Kesuksesan dan Kebahagiaan
Sudah lumrah setiap kepala mempunyai definisi tersendiri tentang sukses dan bahagia. Karena, kita terlahir dengan latar belakang, lingkungan, dan kultur yang berbeda-beda. Konteks tersebut sangat memengaruhi.
Akan tetapi, jujur saja, sukses dan bahagia sering kali salah kita artikan. Kita mendefinisikannya sesuai dengan kehendak diri kita. Kalau sudah begini, boleh jadi definisi sukses dan bahagia menurut kita mengikuti hawa nafsu saja. Hal itu sangat subjektif. Sehingga, alangkah baiknya jika kita kembali mencari standar kesuksesan dan kebahagiaan yang objektif, yang bersumber dari Tuhan Semesta Alam.
Objektivitas menuntun perbedaan menjadi titik temu yang terang. Dengan demikian, setiap orang mempunyai persepsi yang sama mengenai kebahagiaan dan kesuksesan walaupun latar belakang kita berbeda-beda.
Lalu, untuk apa kita mencari arti kesuksesan dan kebahagiaan yang objektif itu? Keduanya dimaksudkan agar kita menyadari untuk apa kita hidup di dunia ini. Mengapa kita mesti ada di alam ini. Dan, mau ke mana kita kelak. Ketika kita mengetahui arti kebahagiaan dan kesuksesan yang objektif, kita menyadari bahwa kita dapat hidup dengan indah di dunia ini dan dapat memberikan banyak kebaikan kepada orang lain.
Pada akhirnya, kita hidup di dunia sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Kita tidak akan salah melangkah mengejar kebahagiaan dan kesuksesan. Dengan kata lain, kita telah memiliki tujuan yang jelas, tujuan samawi.
Sebaliknya, ketika kita tidak mengetahui arti sukses dan bahagia yang objektif, boleh jadi setelah memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan (menurut definisi masing-masing), kita malah bersedih dan menyesal.
Ternyata, kesuksesan dan kebahagiaan yang kita peroleh tidak sesuai dengan tuntunan Sang Pencipta melainkan sesuai dengan bimbingan hawa nafsu semata. Ujung-ujungnya, kita menyesal. Memang sih kita dapat kembali ke titik “nol”, memperbarui arti sukses dan bahagia sesuai dengan tuntunan ilahiah, tetapi kita sudah banyak membuang-buang waktu dan energi. Lebih baik sedari awal kita rumuskan arti kesuksesan dan kebahagiaan yang sesuai dengan kemauan Sang Pencipta. Lalu, berusaha mencapainya.
Keimanan = Kesuksesan = Kebahagiaan
Kalau Anda membuka Surat Al-Mu’minun ayat 1-11, Anda akan mendapati rahasia sukses terbesar. Allah mengawali ayat tersebut dengan ucapan, “Sungguh, (pasti) beruntung orang yang beriman.”
Allah memberikan rumusan besar bahwa orang-orang berimanlah yang mendapatkan jaminan keberuntungan (sukses dan bahagia). Bukan saja di dunia, ia juga mendapatkan jaminan surga.
Orang beriman selalu mendapatkan tempat tertinggi di sisi Allah. Bahkan, mereka mendampingi para rasul, nabi, dan orang-orang saleh terdahulu karena para nabi, rasul, dan orang-orang saleh terdahulu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah. Berdasarkan petunjuk tersebut, untuk mencapai kebahagiaan dan kesuksesan, cukup memupuk keimanan kita.
Nah, pahamlah kita bahwa arti kebahagiaan dan kesuksesan yang objektif itu adalah manakala kita memasukkan iman dalam diri kita, lalu berusaha mempraktikkannya dalam kehidupan keseharian (ihsan).
Muncul sebuah pertanyaan: siapakah orang beriman itu? Merekalah yang senantiasa melakukan perbaikan diri (shalat, menjauhkan diri dari perkataan/perbuatan negatif), berusaha melakukan perbaikan di sekitarnya (dengan gemar memberikan zakat). Perilaku seperti itulah yang membuat mereka bahagia. Mereka pun mendapatkan balasan surga dari Allah (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 2-11).
Allah juga memperjelas karakter orang beriman (hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih, ibadu r-rahman) yaitu mereka yang berjalan di bumi dengan rendah hati, selalu mengucapkan kebaikan meskipun ia dihina/dicemooh, senantiasa memperbanyak shalat di malam hari, memberikan infak, mengerjakan kebajikan, dan selalu berdoa (meminta ampunan, rezeki, dan lain-lain.) (Q.S. Al-Furqan [25]: 63-70).
Sebenarnya, masih banyak sifat-sifat orang beriman yang diungkapkan dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya, semua keterangan dalam Al-Qur’an menuntun manusia menuju kebahagiaan dan kesuksesan. Bahkan, sebelum mempraktikkan amal kebajikan, mereka telah merasakan kebahagiaan dan kesuksesan. Sungguh luar biasa, bukan? Ringkasnya, jika kita ingin mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan, jadilah orang beriman. Iman adalah modal awal untuk menapaki tangga kehidupan.
Keberimanan dan Hukum Ketertarikan
Adakah hubungan keberimanan seseorang dengan Hukum Ketertarikan yang sudah terbukti dapat membahagiakan hidup? Ya! Hubungan antara keduanya terkait erat. Bahkan, orang-orang beriman, tanpa disadari, telah lama mempraktikkan Hukum Ketertarikan.
Dari hadis Nabi yang sahih dikatakan bahwa iman itu diyakini kuat-kuat dalam hati, diucapkan dengan lisan sesadar-sadarnya, dan diwujudkan dengan tindakan (action). Kalau kita perhatikan ketiga komponen tersebut, ada yang sangat luar biasa, kan?
Ungkapan Rasulullah saw tersebut mengindikasikan bekerjanya Hukum Ketertarikan (di sinilah letak keluarbiasaannya). Masak iya? Mari kita bahas…
Diyakini kuat-kuat dalam hati. Ini mengindikasikan bahwa, sebelum kita melakukan sesuatu atau berucap, sebaiknya yakini terlebih dahulu kebenaran atau manfaat apa yang kita katakan. Jangan sekali-kali mengatakan apa yang tidak kita yakini kebenarannya. Jangan pula mengatakan sesuatu yang tidak bermanfaat. Tanamkan kuat-kuat kebenaran dalam hati karena hati atau perasaan adalah salah satu ujung tombak getaran-getaran positif atau negatif.
Jika kita memiliki kebersihan hati (tazkiyyatun-nafs), kita pun semakin banyak memancarkan getaran positif ke alam sekitar atau orang lain. Getaran itu pun dikembalikan ke dalam diri kita sendiri (sesuai Hukum Ketertarikan). Maka, berhati-hatilah dengan hati. Lembutkan dan cerdaskanlah ia.
Diucapkan dengan lisan sesadar-sadarnya dan diwujudkan dengan tindakan (“action”). Ucapan kita menunjukkan hati kita. Berhati-hatilah mengatakan sesuatu karena kata-kata dapat memengaruhi diri kita, bahkan hingga perbuatan (action) kita.
Orang yang selalu mengatakan bahwa dirinya tidak mampu, ia pun tidak akan mau mencoba. Ia takut berhadapan dengan kegagalan. Sebab, sebelum mencapai keinginan-keinginannya, ia telah memancarkan perasaan negatif ke alam sekitar. Pancaran negatif itu akan dikembalikan ke dalam dirinya.
“Percaya bahwa apa yang Anda minta sudah menjadi milik Anda. Miliki apa yang saya sebut sebagai iman yang teguh. Percaya pada apa yang tidak kasat mata.” —Lisa Nichols dalam buku The Secret.
Sebaliknya, mereka yang memotivasi diri dengan memasukkan kata-kata penyemangat “Saya bisa”, justru mampu meraih keinginannya. Ia pun terus-menerus berusaha meraihnya. Ia menyusun rencana demi rencana untuk mencapai tujuannya karena dalam pikirannya sudah tertanam bahwa ia mampu melakukannya.
Ucapan kita, lisan kita, memengaruhi pikiran dan perasaan kita. Begitu pun sebaliknya, pikiran dan perasaan kita memengaruhi apa yang kita katakan. Selanjutnya, hal itu akan memengaruhi apa yang kita lakukan.
Orang-orang yang beriman harus selaras antara pikiran dan perasaan, lisannya dan tindakannya. Setara antara “kata” dan “laku”. Orang beriman selalu memiliki perasaan, pikiran, lisan, dan tindakan positif. Dengan demikian, orang beriman selalu memancarkan getaran positif ke alam sekitar (orang lain, teman, saudara terdekat, dan lingkungan) sehingga alam sekitar pun akan mendatangkan getaran yang sama. Maka, orang berimanlah yang mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan. Ia memperoleh keberuntungan yang besar (fauzan ‘azhim).
Bahagia Sebelum Bertindak!
Sebelum membangun rumah, kita pasti membutuhkan banyak perencanaan. Mulai dari model rumah hingga biaya yang harus dihabiskan. Biasanya, arsitek menggambarkan bentuk rumah kita. Setelah sepakat dan sesuai dengan kemauan, barulah rumah kita dibangun.
Bukan saja pembangunan rumah, proses produksi barang apa pun terlebih dahulu dibuatkan “blue print”-nya. Begitu pun saat Anda menggambar blue print kehidupan Anda di dalam kepala, tentu Anda bisa saja menggambarkan Anda seorang yang sangat kaya. Jarang sekali Anda membayangkan—di samping kekayaan itu—Anda tidak berbahagia.
Sebagian orang, ketika menggambarkan diri mereka, justru terfokus pada ketakutan, kekhawatiran, dan keragu-raguan. Misalnya, takut miskin, takut gagal, takut tidak dapat membahagiakan istri dan mertua, dan seterusnya. Kita merasa sangat takut (paranoia).
Dengan kegelisahan itulah setiap tindakan kita hanya didorong oleh motivasi untuk struggle (berjuang). Alhasil, Anda terus bertindak mengejar kekayaan Anda, tetapi Anda tidak pernah merasa bahagia. Anda merasa sangat tertekan dalam mengejar kekayaan. Dalam benak Anda, menjadi kaya terlebih dahulu, kemudian menikmati kebahagiaan.
Rumusan Al-Qur’an sungguh sangat mengejutkan: Berbahagialah sebelum bekerja (mengejar kekayaan)! Allah Mahatahu bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan dengan rasa bahagia akan menghasilkan output yang memuaskan. Dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an, Allah selalu mendengung-dengungkan supaya kita bahagia dalam menapaki hidup ini. Tidak perlu bersedih. Tidak perlu takut.
Justru, sebelum melakukan apa pun, kita dianjurkan mengucapkan kata-kata kebaikan, seperti mengucapkan basmalah: bismillahirrahmanirrahim. Ucapan yang menggetarkan hati kita. Ucapan yang penuh pengharapan bahwa Allah senantiasa menemani kita dalam hidup, bekerja, dan berkarya. Betapa bahagianya diri kita, bukan? Dalam setiap denyut nadi kita, Allah mendampingi kehidupan kita. Allah senantiasa menyertai detik-detik kehidupan ini.
Berbahagia sebelum melakukan apa pun sudah sering dipraktikkan Rasulullah saw. Menjelang pagi hari, Rasulullah saw mengajarkan kita shalat Dhuha. Dalam shalat tersebut, kita berdoa meminta kemudahan, kelancaran, dan limpahan rezeki. Setelah shalat Dhuha, air muka kebahagiaan kembali menyirami wajah kita. Kita pun bahagia. Lalu, segera bergegas menuju ke tempat kerja.
Selang beberapa jam, waktu Zuhur pun datang. Azan berkumandang di sudut-sudut kota. Matahari mulai bergeser dari atas kepala kita. Hiruk-pikuk perkotaan sangat terasa. Tubuh terasa lelah setelah dari pagi hari kita menguras pikiran dan tenaga. “Marilah menuju kemenangan!—Hayya ‘alal-falahi” itulah panggilan Allah. Saat itulah waktu yang tepat untuk kembali menstabilkan tingkat emosi kita alias kembali mengondisikan diri kita pada kebahagiaan.
Tunaikanlah shalat Zuhur. Nikmatilah. Lepaskan semua permasalahan yang kita dapati sejenak saja. Lepaskan beban hidup untuk sementara saja. Biarkan kebahagiaan datang meliputi jiwa kita. Berwudhulah. Rasakan sentuhan butir-butir air yang begitu sejuk. Nikmatilah. Subhanallah, betapa kehidupan terasa sangat mengasyikkan. Ketika kita mengangkat kedua tangan, rukuk, dan sujud, aliran darah kita mengalir mengisi seluruh rongga tubuh kita. Oh, betapa nikmat.
Sambil duduk berzikir seusai shalat, cobalah sebanyak-banyaknya mengundang rasa kesyukuran dalam diri. Pikirkan, betapa Allah sudah memberikan kesehatan bagi kita sehingga kita dapat bekerja dengan baik hari ini. Syukurilah. Tersenyumlah. Lalu, berdoalah sepenuh hati. Mintalah kepada-Nya dengan penuh kesungguhan.
Setelah Anda berdoa dan rasa kebahagiaan kembali Anda dapatkan, segeralah bekerja kembali. Insya Allah, kualitas kerja Anda semakin membaik. Amin.
Pada bab-bab selanjutnya, saya akan menuntun Anda menggapai kebahagiaan dan kesuksesan melalui energi doa, syukur, dan sabar. Semua itu sudah termaktub dalam Al-Qur’an. Saya juga akan menunjukkan kepada Anda betapa Al-Qur’an dapat mencerahkan hidup Anda. Jadi, jangan sampai Anda melewatkan begitu saja bab demi bab dalam buku ini. Baca terus dan terus baca!
2. PUSAT-PUSAT ENERGI DALAM AL QURAN
Sejak di bangku sekolah, kita sudah diperkenalkan dengan istilah energi. Dalam Fisika, kita masih ingat Hukum Energi yang berbunyi: energi tidak dapat dimusnahkan, ia hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dengan perkataan lain, energi itu bersifat kekal.
Misalnya, kipas angin yang berputar di kamar kita. Gerakan kipas angin merupakan transformasi dari energi listrik menjadi energi gerak. Televisi yang menyala di ruang tamu adalah proses perubahan dari energi listrik menjadi energi cahaya dan energi bunyi. Dan, masih banyak contoh lainnya.
Begitu pun dengan Al-Qur’an. Ia memiliki energi. Energi Al-Qur’an tidak dapat dimusnahkan. Ia berubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Energi Al-Qur’an memiliki daya tarik yang dahsyat, karena ia bersumber dari Sang Mahadahsyat. Dan, ia merupakan firman Allah yang langsung dibisikkan kepada manusia pilihan. Sudah barang tentu energi Al-Qur’an memiliki keunikan tersendiri. Anda mau tahu?
Banyak energi yang disalurkan Al-Qur’an kepada manusia. Hanya, cukuplah tiga energi yang saya angkat dalam buku ini. Energi apa sajakah itu? Pertama, energi doa. Kedua, energi syukur. Ketiga, energi sabar.
Setiap kali kita menekuni nilai-nilai dalam Al-Qur’an (dengan membaca dan men-tadabburi-nya) sesungguhnya kita sedang melakukan proses transformasi energi. Yaitu, dari energi abstrak menjadi energi konkret. Begini maksud saya…
Bacaan-bacaan dalam Al-Qur’an itu bersifat kebenaran atau nyata, karena setiap perkataan Al-Qur’an ada kebenaran (haqq). Banyak nasihat kebaikan di dalamnya. Banyak juga nilai-nilai pendidikan, kehidupan, sejarah, pengorbanan, kesuksesan, kebahagiaan, dan lain-lain. Cuma, semua itu—bagi sang pembaca—masih bersifat abstrak. Ia akan menjadi konkret ketika kita mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari (melalui doa, syukur, dan sabar).
Al-Qur’an mendorong kita supaya mewujudkan segala perkataan yang ada di dalamnya. Kitab Mulia ini senantiasa memberikan dorongan pada penikmatnya agar segera mempraktikkan apa yang disampaikan di dalamnya. Di situlah proses transformasi energi berlangsung.
Mereka yang tidak mau mengaplikasikan ajaran-ajaran Al-Qur’an tidaklah mampu melakukan transformasi energi tersebut. Mereka hanya bisa membaca tanpa mau mengamalkannya. Akibatnya, semakin mereka membaca Al-Qur’an, semakin jauh diri mereka dari nilai-nilai Al-Qur’an. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Rasulullah saw mengatakan bahwa di akhir zaman nanti akan kita temukan orang-orang yang mengalunkan Al-Qur’an sebatas tenggorokan mereka. Artinya apa? Mereka sekadar memperindah lantunan Al-Qur’an tanpa mau mewujudkan isi Al-Qur’an dalam kehidupannya.
Mungkin, hal itu pula yang menjadi penyebab mengapa kita sering membaca Al-Qur’an tetapi hidup kita begini-begini saja. Kita tidak mengalami perubahan yang berarti. Mungkin juga kita membaca Al-Qur’an sekadar untuk mencari pahala Allah, tanpa mau memetik nilai-nilai kesuksesan yang terkandung di dalamnya.
Kita membaca sebatas dengungan pita suara tanpa mau memasukkan setiap perkataan Al-Qur’an dalam derap langkah hidup kita. Jadi, wajar saja kalau sampai saat ini kita belum sukses dan bahagia. Interaksi kita dengan Al-Qur’an, dalam hal ini, masih sebatas membaca.
Energi Doa
Saya meyakini bahwa orang-orang yang senantiasa membaca dan mengamalkan Al-Qur’an akan mendapatkan saluran energi doa, karena doa dan membaca Al-Qur’an merupakan aktivitas yang namanya sama. Keduanya adalah medium komunikasi dengan Allah. Membaca Al-Qur’an berarti menyampaikan doa-doa juga (bukankah setiap bacaan Al-Qur’an mengandung doa?). Wajar saja, seseorang yang sering berinteraksi dengan Al-Qur’an memiliki kualitas yang memadai.
Setiap permohonan mereka, lumrahnya, senantiasa terjawab. Seolah-olah, Allah sangat mencintai mereka yang rajin membaca Al-Qur’an. Doa-doa mereka ibarat sebuah peluru yang mengenai tepat sasarannya, tidak meleset. Mereka meminta kesuksesan dan kebahagiaan maka mereka mendapatkannya. Masya Allah.
Peristiwa seperti itu sah-sah saja. Bagaimana tidak, doa mereka memiliki energi. Energi doa tersebut berubah menjadi energi yang konkret, yaitu tercapainya keinginan yang diharapkan. Begitulah doa orang-orang saleh. Rasulullah saw dan para sahabat beliau pun sering kali menerima energi doa. Setiap doa mereka selalu diamini Allah SWT. Seolah-olah, tak ada hijab lagi antara doa mereka dan Allah. Begitu mereka berdoa, saat itu juga Allah memberikan jawabannya.
Lalu, bagaimana dengan kita?
Beberapa teman lama pernah menanyakan kepada saya, “Mengapa doa saya sulit terkabul? Padahal, saya sudah bersusah payah bangun di malam hari, berdoa sekhusyuk mungkin. Akan tetapi, hasilnya nihil!”
Doa adalah senjata seorang mukmin, tiang penyangga agama, serta lentera langit dan bumi.
Ali bin Abi Thalib r.a.
Mungkin kita juga sering mengalami hal tersebut. Sudah sering kita mengangkat tangan ke atas, tetapi kita tidak mendapatkan apa-apa, kecuali lelah dan perasaan bosan menunggu. Kita pun sudah menyempatkan waktu di sepertiga akhir malam, bersujud, berzikir, dan sebagainya. Usaha ini sudah kita lakukan, tetapi hasilnya masih saja tak memuaskan. Kita merasa doa kita sia-sia dan hanya membuang waktu. Akhirnya, kita mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Lalu, kita mulai meninggalkan perintah-perintah Allah sebagai wujud rasa kekecewaan kita.
Jika ini terjadi, tetaplah berdoa dan teruslah mendekat pada Allah. Mungkin, belum terkabulnya doa kita disebabkan oleh beberapa faktor yang perlu kita ketahui. Bagian ini pun akan memberikan jawaban dari pertanyaan teman saya di atas. Mungkin juga, Anda pernah mengalaminya.
Mengapa Doa Saya Tak Kunjung Dikabulkan?
Sebenarnya, ada beberapa hal yang perlu kita pahami mengenai tertundanya pengabulan doa kita. Pertama, kita memang sering kali mengabaikan perintah-perintah Allah. Kedua, Allah menunda permintaan-permintaan kita dan Dia akan mengabulkannya di saat yang tepat. Ketiga, belum seiring dan seirama isi hati dan ucapan dalam doa kita. Mari kita telusuri satu demi satu.
Pertama, Suara Lidah Tidak Sesuai dengan Suara Hati.
Jangan terkejut. Sengaja saya memulainya dari penyebab yang ketiga ini. Penyebab inilah yang sering kali kita lupakan. Terkadang, kita sudah mengamalkan perintah-perintah Allah, tetapi kita tidak ikhlas. Hal ini menyebabkan isi hati kita atau fokus pikiran kita berbenturan dengan lisan atau ucapan kita. Kita berdoa meminta “A”, eh, malah yang kita dapatkan “B”.
Besar kemungkinan hati kita selalu terfokus pada si “B”. Meskipun kita berdoa berkali-kali secara lisan meminta si “A”, kita tak jua meraihnya. Suara hati kita lebih condong kepada si “B”.
Hal di atas terkait dengan Hukum Ketertarikan. Jika perasaan dan hati kita terfokus pada sesuatu yang tidak kita inginkan, niscaya itu akan benar-benar terjadi. Jika kita takut doa kita tidak dikabulkan, besar kemungkinan doa kita terus tertunda, tak kunjung terjawab. Atau, ketika kita berdoa meminta kekayaan, tetapi hati dan pikiran kita selalu saja membisikkan bahwa kita tidak mungkin menjadi kaya.
Pada urutannya, Allah akan merespons apa yang ada dalam pikiran dan perasaan kita. Dia mendengarkan apa yang ada dalam hati hamba-Nya. Oleh sebab itu, kita perlu mengatur pikiran dan perasaan kita.
Sa’id Al-Lahham dalam bukunya, Fiqhud-Du’a, menuturkan bahwa jika suara lidah sesuai dengan suara hati, Allah akan mengabulkan apa saja yang kita inginkan. Sebaliknya, suara lidah yang berbenturan dengan suara hati menyebabkan jawaban doa kita tertunda. Maka, penting sekali bagi kita untuk fokus pada suara hati dan suara lisan yang saling bersinergi.
Ternyata, Allah SWT hanya akan mendengarkan suara hati kita. Perhatikan firman Allah berikut.
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (Q.S. Qaf [50]: 16).
Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam lubuk hati kita. Pantas saja, jika kita berdoa tanpa menghadirkan ketulusan hati, doa kita menjadi hampa. Doa kita tidak berbobot. Berkali-kali kita mengalunkan kata-kata indah pada-Nya, tetapi suara hati kita tidak seirama dengan kata-kata kita. Sudah dapat diduga, doa kita menjadi sia-sia.
Kesimpulannya, sebelum kita berdoa, periksalah kembali kejernihan hati kita. Tanyakan dalam hati kita apa yang sebenarnya ingin kita pinta.
Contohnya, ketika kita meminta kelimpahan rezeki, sudahkah hati kita turut meminta kepada-Nya? Atau, jangan-jangan hati kita tidak setuju kalau hidup ini menjadi kaya. Dalam hati, dengan menjadi kaya, justru menjauhkan diri kita pada Allah. Atau, ketika kita meminta kenaikan jabatan di kantor, hati kita tidak pernah menyetujuinya. Karena, tujuan kita untuk mengejar ketenaran, popularitas. Andai ini terjadi, sampai kapan pun permintaan kita tidak akan terwujud.
Lantas, bagaimana dong solusinya?
Silakan membaca buku ini hingga tuntas. Dalam bab selanjutnya, saya akan memaparkan cara memadukan suara lisan dan suara hati agar keinginan-keinginan kita segera tercapai.
Kedua, Allah Lebih Mengetahui Jalan Terbaik Hidup Kita
Doa-doa kita yang belum terjawab bukan berarti suatu malapetaka dalam hidup. Belum terjawabnya doa kita, boleh jadi merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah SWT. Memang, menurut pandangan subjektif kita, setiap doa yang kita panjatkan memiliki banyak kebaikan.
Misalnya, kita meminta kekayaan supaya dapat meringankan penderitaan orang lain. Atau, kita meminta supaya Allah memberikan jabatan terhormat di kantor. Dengan jabatan itu, kita dapat bersedekah lebih banyak lagi. Banyak doa yang tak kalah mulianya dengan doa di atas, tetapi mengapa belum juga terkabul?
Terkadang, kita melihat sesuatu dari sudut pandang diri kita sendiri. Padahal, pengetahuan kita sangat terbatas. Buktinya, kita tidak akan pernah mengetahui apakah esok hari kita masih hidup atau tidak. Begitu pun dengan doa.
Kita tidak pernah mengetahui bahwa doa-doa kita membawa kebaikan atau kesengsaraan dalam hidup. Sebagus dan semulia apa pun lantunan doa-doa kita, kita tidak mengetahui dengan pasti apakah ketika terkabulnya doa tersebut lantas kita menjadi bahagia selamanya. Belum tentu.
Malah sebaliknya, boleh jadi, pandangan Allah berbeda dengan sangkaan kita. Allah Maha Mengetahui apa yang terjadi pada hamba-Nya. Dia mengetahui peristiwa buruk yang menimpa kita. Dia pun mengetahui peristiwa terindah dalam hidup kita. Dia akan selalu memberikan yang terbaik dalam kehidupan kita.
Besar kemungkinan, belum terkabulnya doa kita karena Allah mencintai diri kita. Allah tidak mau melihat kita kesusahan jika doa tersebut terkabulkan. Dengan kata lain, apa yang kita duga baik, belum tentu baik bagi diri kita. Sebaliknya, apa yang kita benci justru menjadi yang terbaik dalam kehidupan ini.
Untuk menanggapi kondisi seperti ini, berusahalah mengubah sudut pandang kita. Jika sebelumnya kita selalu menyalahkan Allah (Allah tidak adil) dan mengeluh, sekarang, bukalah hati kita. Yakinlah bahwa Allah selalu mengabulkan doa-doa kita. Tumbuhkanlah sikap yang arif. Ambillah hikmah kebaikan. Berprasangka baiklah (positive thinking) kepada-Nya, insya Allah segala permintaan kita segera terjawab. Tatkala belum terjawab, itulah jawaban terbaik dari Allah.
Untuk menambah keyakinan Anda, saya kutipkan sebuah Hadis Qudsi yang cukup populer. Berikut kutipannya, “Aku adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku tentang Aku; maka seyogianya dia memiliki prasangka yang baik tentang Aku.”
Saat membaca Hadis Qudsi ini, saya semakin bertambah yakin bahwa kesuksesan doa seseorang ditentukan oleh sejauh mana kadar kepercayaannya kepada Allah. Semakin tinggi tingkat kepercayaannya kepada Allah, semakin dekat dia dengan Allah. Semua keinginannya dapat dengan mudah terkabulkan.
Ketiga, Menumpuknya Dosa Kita
Benarkah Anda mencintai Allah? Pertanyaan itu, sontak saja membuat saya terperanjat. Baru pertama kali saya berkenalan dengan seorang teman yang langsung menanyakan kecintaan saya kepada Sang Pencipta. Apa maksud teman saya ini? Saya diam sejenak. Lain, saya tatap wajahnya. Dia hanya tersenyum tipis.
Ternyata, teman saya hanya menguji kadar kecintaan saya kepada Allah. Meskipun saya belum menjawabnya, dia yakin saya adalah orang yang cinta kepada Allah. Namun, beberapa menit kemudian, dia bertutur kembali. Katanya, “Banyak orang mengaku cinta kepada Allah, padahal mereka berbohong.”
Menurut teman saya, sebagian manusia telah membohongi dirinya sendiri. Mereka mengaku cinta kepada Sang Khalik, tetapi shalat sering kali ditinggalkan. Mereka mengaku dekat dengan Allah, tetapi gemar melakukan kemaksiatan. Pada intinya, hal itu berarti mereka tidak menaruh rasa cinta kepada-Nya.
Sama halnya dengan doa kita yang belum dikabulkan. Itu karena kita membohongi diri kita sendiri. Kita selalu menginginkan doa kita terjawab tetapi setiap hari kita tidak pernah lepas dari gelimang dosa. Kita terus-menerus mengingkarinya.
Analoginya, bagaimana seseorang akan memberi kebaikan pada kita jika setiap kali berjumpa dengan kita, kita selalu menyakiti hatinya? Mustahil orang tersebut bersedia menuangkan kebaikan ke dalam gelas kita. Justru, ia akan menjauh. Bahkan, ketika berpapasan dengan kita, ia lebih memilih menghindar daripada harus melihat wajah kita.
Perbuatan-perbuatan dosa kita telah menjadi hijab penghalang antara doa kita dan Allah. Allah, Tuhan Yang Mahasuci, tidak menyukai hamba-Nya yang bergelimangan kemaksiatan. Dia menyukai hamba-hamba yang bersih lahir dan batinnya.
Saya teringat sebuah cerita yang pernah dituturkan Rasulullah saw. Cerita seorang yang melantunkan doa sambil mengangkat tangan. Ia berdoa dengan amat khusyuk. Akan tetapi, doanya tidak pernah dikabulkan Allah. Penyebabnya sederhana sekali, yakni makanan orang tersebut bersumber dari harta yang haram. Begitulah penuturan Rasulullah saw.
Mungkin kita perlu mengkritisi diri kita sendiri. Tanyakan dalam diri kita: bagaimana Allah akan menerima permintaan seorang hamba kalau ia saja selalu menyantap makanan yang haram?
Sucikanlah diri kita ketika akan bersujud di hadapan-Nya. Sebelum kita mulai berdoa, periksalah perilaku-perilaku kita. Tengoklah diri kita. Tanyakan dalam lubuk hati terdalam kita, “Sucikah hati saya?” Dengan begitu, kita telah memulai pendekatan kepada-Nya dengan cara yang benar.
Dalam Shahih Muslim, Rasulullah saw bersabda, “Seorang hamba akan selalu dikabulkan doanya oleh Allah selagi ia tidak berdoa dengan sesuatu yang berdosa, memutus silaturahmi, dan tergesa-gesa.”
Selain menggunungnya dosa kita, ternyata ada dua penyebab lain mengapa doa kita tak kunjung Allah kabulkan, yaitu memutus silaturahim dan tergesa-gesa. Yang terakhir ini, mengusik hati saya. Coba perhatikan kata terakhir: tergesa-gesa.
Rasulullah saw kembali bertutur, “Orang yang tergesa-gesa adalah mereka yang mengatakan, ‘Saya berdoa kepada Allah tapi tidak dikabulkan,’ kemudian ia mengeluh karenanya dan berhenti untuk berdoa.”
“Astaghfirullah” Saya kembali terhenyak. Ternyata, selama ini sebagian di antara doa kita sudah ditolak oleh Allah. Sudah sering saya mendengarkan orang yang mengeluhkan doanya yang tidak jua datang menghampiri.
Jadi, jalan terbaik yaitu mengurutkan terlebih dahulu apa saja faktor yang menyebabkan doa kita tidak terkabulkan. Pahami tata cara berdoa. Lalu, mulailah berdoa sesuai dengan tuntunan Allah.
Buku ini akan memberikan panduan jiwa dan raga dalam meminta keinginan-keinginan kita kepada-Nya. Buku ini memandu kita untuk berdoa yang—kita berprasangka baik—berpeluang akan diijabah oleh-Nya. Insha Allah.
Energi Syukur
Salah satu pusat energi yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah energi syukur. Seperti apakah energi syukur yang terkandung dalam Al-Qur’an? Kalau kita telusuri bersama ayat demi ayat dalam Al-Qur’an, sering kali kita menjumpai kata “syukur” dengan beragam redaksi.
Perintah “bersyukur” pun selalu didengungkan oleh Al-Qur’an. Seakan-akan sifat kesyukuran ini memiliki keistimewaan di mata Allah SWT. Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk senantiasa mempertajam kesyukuran (tasyakfur). Salah satunya dapat kita temui pada Surah Ibrahim (14), tepatnya ayat 7.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku yang sangat berat.”
Dalam ayat lain, “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 152).
Bersyukurlah terus-menerus dalam hidup meskipun kita merasakan bahwa hidup ini penuh kesempitan dan ujian. Tetaplah bersyukur. Karena, kenyataannya, banyak nikmat Allah yang sudah diberikan dalam hidup kita. Mungkin kita bukanlah orang yang kaya, tetapi kita memiliki kesehatan yang prima. Kita memiliki hubungan baik dengan banyak teman. Atau, keluarga kita selalu harmonis. Artinya, kenikmatan Allah sudah mengalir dalam kehidupan kita.
Betapa kuatnya Al-Qur’an menyuntikkan kata-kata syukur dalam kehidupan ini. Al-Qur’an memberikan panduan agar kita senantiasa bersyukur kepada Allah, tidak ingkar. Semakin kita bersyukur, semakin banyak kenikmatan berdatangan dalam diri kita. Sungguh bahagianya.
Apa Itu Syukur?
Sejak tadi kita sudah membicarakan syukur, bukan? Lalu, apakah sebenarnya syukur itu? Jangan-jangan selama ini kita tidak mengetahui apa arti syukur. Kita menduga bahwa syukur itu banyak-banyak melafalkan ucapan “Alhamdulillah”. Kita menduga dengan memperbanyak ucapan hamdalah tersebut, kita telah bersyukur. Padahal, ungkapan hamdalah hanya sebagian kecil dari wujud rasa syukur.
Ada beberapa arti syukur yang mesti kita pahami. “Bersyukur” menurut bahasa Arab (syakara) artinya “mengakui kebajikan”. Misalnya, kita mengatakan syakartullah atau syakartu lillahi, “Aku berterima kasih kepada Allah”, artinya mensyukuri nikmat Allah.
“Bersyukur” menurut etimologi bahasa bisa juga diartikan “pengaruh makanan pada tubuh hewan”. “Hewan yang bersyukur” artinya “hewan yang sudah memadai kehidupannya (makanannya) meskipun minim”. Dengan kata lain, “hewan yang gemuk dengan pakan yang sedikit” (Muhammad bin Shalih Al Munajjid, Silsilah Amalan Hati, terj., h. 235).
Pengertian istilah terminologis, bersyukur memiliki arti memperlihatkan pengaruh nikmat Ilahi yang melekat dalam diri kita. Yaitu, melalui kalbu dengan beriman, melalui lisan dengan pujian dan sanjungan, melalui anggota tubuh dengan melakukan amal saleh dan ketaatan.
Saya lebih tertarik pada arti syukur yang terakhir ini (secara terminologis, peny). Dengan demikian, sedikit saja nikmat yang Allah berikan, begitu menginspirasi kita untuk sebanyak mungkin bersyukur. Apalagi, ketika nikmat dari Allah berlimpah ruah maka kesyukuran kita semakin berlipat ganda. Kita ucapkan dengan lisan kesyukuran itu. Kita tanamkan dalam hati terdalam rasa kesyukuran itu. Kemudian, kita bagikan kesyukuran itu kepada orang lain.
Terserah Anda memilih definisi syukur yang tepat dengan latar belakang Anda. Semua definisi syukur di atas, pada dasarnya sama. Yakni, menghargai segala nikmat yang diberikan Allah, meskipun hanya sedikit.
Bagaimana Mengundang Rasa Syukur?
Kita sudah mengetahui arti syukur, bukan?
Pertanyaan berikutnya: bagaimanakah caranya mewujudkan kesyukuran itu? Selama ini, kita sering diperintahkan oleh ustaz dan ulama supaya meningkatkan kesyukuran kita. Setiap awal khotbah shalat Jumat, kita selalu diingatkan agar senantiasa bersyukur. Namun, sudahkah kita mengetahui cara terefektif merengkuh rasa syukur? Ya atau belum?
Terdapat tiga cara mengundang rasa syukur dalam kehidupan keseharian kita, yakni (1) mengenal nikmat Allah, (2) siap menerima nikmat Allah, (3) dan menggunakannya sesuai dengan kemauan Sang Maha Pemberi.
Menarik, bukan? Mari kita pahami satu per satu.
Pertama, Mengenal Nikmat Allah
“Tak kenal maka tak….” Saya sengaja tidak melanjutkannya. Anda pasti sudah dapat menebaknya, bukan? Seperti itulah nikmat Allah. Ketika kita tidak mengenal nikmat Allah yang melekat dalam diri kita, tentu kesyukuran tidak akan pernah datang. Kita terus mengeluh bahwa Allah tidak pernah memberikan nikmat-Nya. Justru Allah memberikan ujian dan kesulitan. Kita merasa gagal.
Hasilnya, setiap hari wajah kita diliputi kekecewaan, murung, dan marah. Bisa-bisa wajah kita cepat tua, menua dini. Kita tidak kunjung menjadi bahagia dan membahagiakan diri. Hidup kita diliputi kekhawatiran, keputusasaan, suram, dan serba tak menentu.
Ini berbeda dengan mereka yang mengenal nikmat Allah. Ia selalu tersenyum meskipun musibah datang mendera hidupnya. Ia bahagia dengan apa yang sudah ia dapatkan. Tak ada keluhan, yang ada hanya rasa syukur. Ujung-ujungnya, dari waktu ke waktu, hari berganti hari, rezeki selalu mengalir dalam dirinya. Ia hidup berkecukupan.
Biasanya, sifat seperti ini justru dimiliki oleh orang kaya. Orang miskin jarang sekali memilikinya. Mungkin kita pernah mendengar sebuah ungkapan yang tak asing lagi: orang miskin semakin miskin, orang kaya semakin kaya.
Mengapa bisa begitu? Orang miskin selalu saja mengeluhkan hidupnya. Mereka terfokus pada kemiskinannya. Memang mereka bekerja, tetapi mereka bekerja sambil menggerutu, memaki diri sendiri, dan tidak ikhlas menerima ketentuan Allah. Sebaliknya, sebagian orang kaya bekerja dengan kebahagiaan. Mereka fokus bagaimana cara meningkatkan kekayaan mereka.
Terlepas saat ini kita orang kaya atau miskin, tidak menjadi persoalan. Kita yang kaya bisa bertambah kaya. Kita yang miskin pun bisa menjadi kaya. Yang kita butuhkan saat ini adalah menguak rahasia terbesar untuk menjadi kaya dan bahagia. Salah satunya yaitu kita mesti mengenal nikmat Allah yang melekat dalam kehidupan kita. Dengan pengenalan itu, kita sedang mengundang rasa syukur dalam hidup kita.
Untuk mengenali nikmat Allah, sebetulnya sangat sederhana. Coba Anda jawab pertanyaan berikut ini.
- Apakah saat ini Anda hidup dalam kecukupan?
- Apakah saat ini Anda memiliki kesehatan yang memadai, tidak pernah sakit-sakitan?
- Apakah Anda pernah mengalami musibah, lalu Allah menyelamatkan Anda?
- Apakah Anda dianugerahi istri yang penuh pengertian dan selalu mendorong semangat hidup Anda?
- Apakah Anda pernah mengalami kegagalan, lalu tiba-tiba Anda bangkit dan menemukan jalan keluar?
- Apakah detik ini Anda masih dapat bernapas, melihat, mendengar, berjalan, meraba, tersenyum, dan sebagainya?
Masih banyak pertanyaan lainnya yang dapat kita tanyakan ke dalam diri kita. Tanyakan kepada diri kita apa saja yang sudah kita rasakan selama ini. Kita harus banyak bertanya pada diri sendiri. Koreksi diri kita dengan sederet pertanyaan. Upayakanlah menyusun pertanyaan yang menggambarkan kenikmatan yang telah kita dapatkan.
Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya sebagai pengingat saja dan sebagai identifikasi menikmati limpahan rezeki Allah yang sudah kita peroleh. Dengan mengingat kenikmatan-kenikmatan Allah yang melekat dalam diri kita, kita semakin menyadari bahwa hidup ini perlu disyukuri. Kita menyadari telah diberikan banyak nikmat yang, kalau kita mencoba menghitungnya, kita tak akan sanggup (wa in ta’uddu ni’matallahi la tuhsuha).
Andai pun samudra ini dijadikan sebagai tinta, batang pepohonan sebagai pena, dan tanah lapang di dunia ini dijadikan sebagai lembaran kertas, tidak akan pernah sanggup seorang pun menuliskan satu per satu kenikmatan yang sudah dianugerahkan Allah. Betapa banyaknya nikmat Allah yang melekat dalam diri kita.
Seyogianya, setiap detik dan tarikan napas kita senantiasa diembuskan dengan rasa syukur. Dengan begitu, kita akan selalu merasakan kebahagiaan hidup. Tak ada lagi keluh dan kesah. Tak ada lagi raut wajah yang suram. Semua berganti dengan senyum dan semangat menjalani lika-liku kehidupan ini.
Kedua, Siap Menerima Nikmat Allah
Setelah kita mengetahui betapa banyak nikmat Allah yang mengalir dalam hidup ini, langkah selanjutnya adalah mempersiapkan diri kita untuk menerima aliran nikmat tersebut. Sebagian orang memahami bahwa nikmat Allah itu melimpah ruah. Sayangnya, mereka tidak mengondisikan dirinya untuk menerima nikmat itu. Malah, mereka menutup diri.
Misalnya, kita adalah seorang saudagar pakaian. Supaya barang dagangan kita laris, tentu saja, kita harus datang pagi hari sebagai wujud keseriusan kita untuk berdisiplin dan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pelanggan kita. Akan tetapi, kenyataannya, kita kerap datang siang hari, bermalas-malasan, dan selalu mengeluh.
Dalam hati kita sudah tertanam bahwa tidak ada pelanggan yang mau melirik barang dagangan kita. Kita pun acuh tak acuh kepada pengunjung. Berwajah murung dan suram. Tak ada senyum sedikit pun dari wajah kita. Akibatnya, kita tak jua mendapatkan rezeki sesuai harapan. Berdasarkan posisi seperti ini, kita sudah menghalangi datangnya sumber rezeki. Kita tidak mempersiapkan diri menyambut datangnya rezeki dari Allah.
Begitulah kira-kira ilustrasi jiwa yang menutup diri menyambut karunia Allah. Setiap saat, kita semestinya membuka diri menyambut kedatangan karunia Allah. Karunia Allah tidak pernah pilih kasih. Allah tidak menyukai cara tebang pilih terhadap hamba-Nya. Dia akan datang kepada siapa pun yang mau dan siap menerima-Nya, tak pandang bulu apakah muslim atau non-muslim.
Karunia Allah, secara fitrah, mendatangi orang-orang yang memiliki kesiapan untuk menerima meskipun ia bukanlah orang beriman atau kafir, ingat bahwa Allah Maha Pengasih. Rahmat-Nya meliputi seisi alam ini.
Lalu, bagaimana cara kita mempersiapkan diri menerima karunia atau nikmat Allah yang berlimpah ruah itu?
Awalnya, kita butuh menstabilkan hati dan pikiran kita (zero mind and serene). Sebab, datangnya karunia Allah berawal dari hati dan pikiran kita. Ketika kita berpikir bahwa kita tak akan pernah mendapatkan karunia dari-Nya, atau kita selalu mengalami kegagalan, lalu hati kita pun membenarkannya, terhalanglah diri kita dengan karunia Allah. Bukankah Allah Maha Mendengar bisikan hati dan pikiran kita?
Lagi-lagi, kita butuh hati dan pikiran yang jernih dan positif. Kejernihan hati dan pikiran positif, pada hakikatnya, memancarkan energi kebaikan ke alam sekitar. Alam sekitarlah yang akan merespons kehendak kita. Allah pun akan merespons apa keinginan-keinginan yang terpancar dari dalam hati dan pikiran kita. Tepat, sesuai dengan sunnatillah, Hukum Ketertarikan.
Namun, kejernihan hati dan pikiran positif belumlah secara penuh mengundang derasnya karunia Allah mengalir dalam diri kita. Kita membutuhkan kolaborasi doa, syukur, dan sabar. Kita perlu melakukan sinergi antara ketiganya.
Dalam lembaran-lembaran bab selanjutnya, saya akan paparkan bagaimana membuka pintu-pintu rezeki melalui kolaborasi doa, syukur, dan sabar. Oleh sebab itu, jangan berhenti di halaman ini. Bacalah sampai tuntas buku ini. Anda akan mendapatkan cara terbaik bagaimana mengalirkan karunia Allah ke dalam kehidupan Anda, keluarga, dan siapa pun yang Anda inginkan. Mari kita berikhtiar!
Ketiga, Memanfaatkan Nikmat sesuai dengan Kemauan Sang Maha Pemberi
Apa yang kita lakukan setelah memperoleh karunia? Menghambur-hamburkannya? Atau, memanfaatkannya untuk kebaikan kita, keluarga, dan orang-orang yang kita cintai? Saya berharap Anda mengalokasikan karunia Allah itu untuk orang lain juga, dan inilah sebaik-baik manusia (khamimruis al-‘a’imimi ‘Urmus). Bukan untuk diri Anda sendiri saja.
Saya kerap menemukan orang-orang yang diberikan karunia berlimpah (baik berupa kesehatan, materi, dan sebagainya), tetapi lupa akan dirinya sendiri. Karunia kesehatan yang diberikan Allah justru dipergunakan hanya untuk melakukan hal-hal yang kurang produktif. Begitu karunia kesehatan itu dicabut oleh-Nya, barulah kita sadar betapa ruginya diri ini. Betapa lupa sering menghampiri hidup kita.
Saya pun kerap menemukan sebagian orang yang benar-benar memaksimalkan karunia kesehatannya untuk mengejar kebaikan. Bahkan, untuk mengejar kelimpahan. Saya pernah bertanya kepada seorang pekerja keras dan punya kedisiplinan. Saya amati betapa ia bersungguh-sungguh mencari uang.
Ketika saya bertanya, “Mengapa mesti bekerja keras mengejar uang?” Apa jawabannya? “Hari ini saya diberikan kesehatan oleh Allah. Jadi, saya harus menggunakan sebaik mungkin untuk bekerja keras dan mendapatkan banyak uang. Boleh jadi esok hari saya jatuh sakit. Namun, setidaknya saya sudah mendapatkan banyak uang untuk menghidupi keluarga saya. Masih sehat bekerjalah dengan tekun, cerdas, dan keras. Mas Rusdin.” Saya pun tertegun.
Jujur saja, selama ini kita menggunakan karunia Allah belum tentu sesuai dengan kehendak-Nya. Salah satu penyebabnya yaitu kita kurang memahami apa sebenarnya kehendak Allah. Apabila kita sudah memahami setiap kehendak Allah dan mau menggunakan karunia itu sesuai dengan kehendak-Nya, insya Allah, karunia itu akan terus bertambah. Kita bisa kaya, bahagia, dan sukses.
Allah akan tersenyum ketika melihat seseorang yang menggunakan pemberian-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Bahkan, malaikat dan alam semesta turut bertasbih memohonkan supaya Allah memperbanyak karunia-Nya kepada kita. Terlebih, apabila kita semakin hari semakin bersyukur, sekecil apa pun karunia Allah. Lalu, karunia yang minim itu kita pergunakan sesuai kehendak-Nya maka pastilah Dia akan menambahkannya.
Lalu, apa kemauan Allah atas karunia yang Dia berikan?
Beragam. Yakni, sesuai dengan jenis karunia yang kita dapatkan. Misalnya, ketika kita mendapatkan kelimpahan harta, bersedekahlah. Beri makanlah anak-anak yatim. Santunilah orang-orang miskin. Pada dasarnya, bersedekah sama dengan mengundang karunia yang lain untuk berbondong-bondong datang pada diri kita sendiri. Semakin banyak kita memberi, semakin banyak kelimpahan rezeki yang kita peroleh. Mungkin bukan saat itu juga. Akan tetapi, di waktu yang lain.
Begitu pun, ketika Allah melimpahkan karunia kesehatan kepada kita, pergunakan sebaiknya masa-masa sehat kita untuk menjemput rezeki, tekun beribadah sebanyak mungkin, insya Allah, Sang Maha Pemberi melancarkan usaha kita.
Selain itu, Allah pun memerintahkan kita supaya menyebut (bukan menghitung—peny.) karunia yang telah diberikan-Nya. Kita sebaiknya menyebutkan satu demi satu apa saja yang sudah kita dapatkan di hadapan-Nya setiap hari. Kita dapat menyebutnya setelah usai shalat, berzikir, atau bertafakur.
Saya kutipkan sebuah ayat yang menerangkan hal tersebut.
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).” (Q.S. Adh-Dhuha [93]: 11).
Begitulah wujud rasa syukur kita kepada-Nya. Semua pemberian-Nya, sekecil apa pun itu patut kita syukuri. Caranya sangat sederhana: akuilah segala nikmat-Nya itu dengan menyebut-nyebutnya dalam doa dan zikir. Seperti perintah ayat di atas yang sudah sering kita baca.
Kemauan Allah selanjutnya terhadap kelimpahan nikmat yang diberikan kepada kita adalah menampakkan nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita. Tentunya, dengan sikap rendah hati, tidak sombong.
Apa iya Allah menyuruh kita supaya menampakkan nikmat dari-Nya? Kalau jawabnya iya, apa maksud Allah?
Sepenggal pengalaman ayah Abu Ahwash berikut bisa jadi penjelas dan penegas pertanyaan di atas.
“Aku menemui Rasulullah saw dengan pakaian yang lusuh,” kata ayah Abu Ahwash.
“Apakah kamu mempunyai kekayaan?” tanya Rasulullah saw.
Ayah Abu Ahwash menjawab, “Ya!”
“Berupa apa?” tanya Rasulullah saw.
“Beragam, yaitu unta, budak, hewan ternak, dan kuda.”
Mendengar jawaban darinya, Rasulullah saw pun menuturkan—kata-kata ini sangat mengena di benak saya, mudah-mudahan Anda pun demikian—“Apabila Allah memberimu harta, perlihatkanlah pengaruhnya pada dirimu.” (H.R. Nasa’i).
Hasan Al-Basri pun turut mengomentari hadis tersebut. Tulisnya, “Apabila Allah memberikan nikmat kepada suatu kaum, Dia menuntut mereka untuk bersyukur kepada-Nya. Apabila mereka bersyukur kepada-Nya, Allah mampu untuk menambahkan nikmat-Nya kepada mereka. Akan tetapi, apabila mereka mengingkarinya, Allah mampu untuk menimpakan kepada mereka suatu azab besar.”
Ungkapan Hasan Al-Basri mengindikasikan bahwa dengan menunjukkan nikmat Allah yang melekat dalam diri kita berarti kita telah mengungkapkan rasa syukur. Dia pun akan menambahkannya. Sebaliknya, kita yang menyembunyikan nikmat Allah yang sudah melekat dalam diri kita termasuk orang yang ingkar. Sehingga, siap-siap saja, nikmat itu akan dicabut dari diri kita.
Oleh karena itu, tidak mengherankan mereka yang banyak mendapatkan nikmat kekayaan tetapi masih saja merasa belum cukup, tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan hidup. Harta yang mereka miliki justru menambah beban dalam kehidupan. Contohnya, banyak orang kaya yang sering sakit-sakitan atau keluarganya tidak harmonis. Biarpun kaya seperti kisah Qarun, tapi tidak bahagia. Apa guna kekayaan berlapis-lapis kalau kebahagiaan hidup tak kunjung datang?
Energi Sabar
Sudah sering saya ataupun Anda menemukan ayat-ayat Al-Qur’an yang memotivasi diri kita untuk bersabar. Saya sendiri sering bertanya-tanya mengapa Allah kerap mengemukakan kata “sabar”. Terkadang, Dia menggandengkan kata sabar dengan shalat, kata sabar dengan pertolongan Allah, atau kata sabar dengan orang-orang beriman. Apa sesungguhnya maksud Allah tersebut?
Kerap kali saya membaca Al-Qur’an, begitu saya dapati kata sabar, saya terhenti beberapa saat untuk merenungi ayat tersebut. Seolah-olah, ayat-ayat itu berkomunikasi dengan diri saya. Contoh sederhana, ketika saya terkena musibah, eh, begitu membuka mushaf Al-Qur’an, saya langsung menemukan kata sabar. Seolah-olah, saya terpancing untuk menelusuri maknanya.
Karena rasa penasaran yang mendalam, saya pun mencoba memahami arti setiap ayat yang ada kata sabar. Alhasil, saya menjadi bertambah yakin bahwa musibah yang menimpa diri saya harus dihadapi dengan sabar. Saya merasakan ayat-ayat tersebut seolah-olah menyuntikkan kesabaran dalam diri saya. Seolah-olah terjadi perpindahan energi dari Al-Qur’an ke dalam diri saya. Energi sabar itulah yang dipindahkan Al-Qur’an ke dalam kehidupan saya.
Mungkin demikianlah salah satu maksud dan hikmah Allah yang menempatkan kata-kata sabar di dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, Al-Qur’an bukan semata-mata bacaan ritual. Akan tetapi, Al-Qur’an benar-benar menjiwai kehidupan kita.
Masalahnya adalah cukup sulit bagi kita menjiwai nilai-nilai Al-Qur’an, terutama menjiwai makna sabar. Penyebabnya, sebagian orang beranggapan bersabar adalah, pasrah begitu saja, tanpa mau melakukan perbaikan. Jujur saja, pada awalnya, saya pun salah mengartikan sikap sabar.
Saya mengira bahwa sabar itu menerima apa adanya saja, tanpa mau memperbaiki usaha. Pokoknya, pasrah sajalah. Pikiran-pikiran seperti itulah—yang sampai saat ini—melekat dalam batin saya. Akibatnya, begitu orang lain menasihati saya supaya bersabar, saya malah mengartikan bahwa dia menyuruh saya supaya pasrah saja. Bahkan, pikiran-pikiran seperti itu sempat bersarang dalam kehidupan saya saat masa kanak-kanak.
Tidak menutup kemungkinan kita pun masih menganggap bahwa sabar hanyalah sifat berpasrah saja atas ketentuan Allah. Kita sering mempertukarkan tempat antara sabar, tawakal, dan pasrah. Keadaan seperti ini tidak boleh kita biarkan begitu saja. Sabar, tawakal, dan pasrah memiliki arti yang berbeda.
Apa arti sabar itu? Saya petikkan sebuah kalimat sederhana dalam sebuah buku karya Muhammad bin Shalih Al-Munajjid, “Sabar ialah bertahan dalam mengerjakan perintah Allah dan menahan diri dari amal perbuatan yang dilarang Allah.”
Beliau menarik kesimpulan pendek, “Dengan demikian, dalam makna ‘sabar’ terkandung pengertian mencegah, bersikeras, dan keengganan,” tulisnya dalam buku—dalam terjemahan Indonesia—Silsilah Amalan Hati.
Ternyata, sabar bukanlah sikap pasrah, melainkan sikap menahan diri. Contoh, ketika Anda memiliki uang yang banyak, tentu Anda akan semakin konsumtif. Suatu saat, Anda malah cenderung membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu Anda butuhkan. Nah, apabila Anda mampu menahan kemauan Anda untuk membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan itu, Anda termasuk orang yang memiliki kesabaran.
Contoh lain, suatu kesempatan pacar Anda meminta Anda untuk mencium pipinya. Saat itu tidak seorang pun yang melihat Anda. Pada kesempatan itu, Anda leluasa untuk menciumnya. Namun, Anda tidak mau melakukannya. Artinya, Anda telah berhasil menahan hawa nafsu diri. Sikap Anda ini berarti telah menjalankan salah satu arti kesabaran—menahan diri.
Suatu saat, mungkin kita pernah mendengar nasihat dari orang-orang bijak bestari. Begini bunyinya, “Sabarlah dalam setiap usahamu.” Ungkapan ini bukan berarti kita dianjurkan pasrah begitu saja. Sabar dalam ungkapan itu berarti kita tetap menahan diri untuk pantang menyerah, alias kita harus terus berusaha.
Sabar bukan berarti berhenti berusaha atau bekerja. Justru, sabar dalam berusaha yaitu menahan diri supaya tetap bersemangat dalam bekerja, tidak malas. “Barang siapa yang berlatih untuk bersabar, niscaya Allah memberikan (energi) kesabaran kepadanya. Tidak ada nikmat (energi) yang lebih baik dan lebih luas, yang diberikan kepada seseorang, selain kesabaran.” (H.R. Bukhari Muslim).
Melatih Kesabaran
Mungkin kita sudah sering mendengar kata-kata bertuah ini, “Apa yang ada di hadapan kita dan apa yang ada di belakang kita hanyalah hal-hal kecil apabila dibandingkan dengan apa yang ada di dalam diri kita.” Kata-kata muara ini berasal dari orang sukses bernama Oliver Wendell Holmes.
Sederetan kata-kata Holmes di atas mengingatkan saya pada pentingnya kita berlatih untuk mengeluarkan segala kelebihan-kelebihan yang ada dalam diri. Kelebihan-kelebihan diri itulah yang semestinya kita tonjolkan.
Salah satu kelebihan yang kita miliki yaitu memosisikan diri pada tempatnya. Maksud saya adalah menjadikan diri kita sesuai dengan harapan-harapan ilahiah, inilah yang semestinya kita tonjolkan dalam serangkaian kehidupan kita.
Salah satunya adalah apa yang saya sebut dengan “menyabarkan diri”. Memang, saya yakin diri kita memiliki potensi sabar dan potensi untuk tergesa-gesa, alias—dalam bahasa sederhananya—kurang sabar. Kedua potensi itu kerap kali kita perdagangkan dalam keseharian kita. Ujung-ujungnya, keduanya membentuk karakter kita. Dalam bahasa keislamannya, adalah “akhlak”.
Tugas kita adalah menjadi jiwa berakhlak Qurani. Salah satunya yaitu menjadi penyabar. “Aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia,” tegas Rasulullah saw. Artinya, setiap diri kita sudah diberikan kesempurnaan akhlak. Cuma, kesempurnaan akhlak tersebut masih terpendam dalam diri kita. Butuh cara untuk memunculkannya, termasuk sabar.
Cukupkah dengan mengetahui cara memunculkan akhlak terbaik, lantas kita dapat menemui kesempurnaan akhlak kita? Saya belum yakin. Akhlak terbaik dimunculkan bukan semata-mata dengan mengetahui caranya. Kita bukan saja tahu, tetapi kita pun harus mau.
Tahu dan mau. Dua komponen inilah yang semestinya ada dalam setiap pribadi. Banyak orang yang tahu bahwa kesabaran adalah kunci utama kesuksesan. Akan tetapi, sangat sedikit mereka yang mau menjadi jiwa penyabar. Hal ini menjadi peringatan, khususnya bagi diri saya sendiri.
Hari ini, mungkin saja, saya berhasil memunculkan sikap sabar. Esok hari, apakah saya dapat memunculkannya lagi? Saya tidak dapat menjaminnya. Saya hanya berusaha mengetahui bagaimana menjadi pribadi penyabar, kemudian—dengan usaha maksimal—berusaha mewujudkan apa yang saya ketahui itu. Sederhana, bukan?
Menyederhanakan sesuatu yang rumit memang tidaklah mudah. Terkadang, saya sendiri terjebak pada sesuatu yang rumit. Padahal, sesuatu yang rumit itu dapat disederhanakan. Tergantung dari sudut pandang kita masing-masing.
Rasulullah saw adalah contoh yang tepat. Ketika beliau dicaci maki, dilempari kotoran unta, dihina, dan sebagainya, beliau mampu menyederhanakan semua itu dengan sangat baik.
“Wahai Rasulullah, biarkan saya membalas ejekan mereka terhadapmu. Berdoalah kepada Allah supaya menaungi diri mereka dengan azab sekarang juga. Mintalah kepada-Nya supaya menyegerakan azab kepada mereka sekarang juga!” ungkap malaikat Jibril as. Lagi-lagi, Rasulullah menyederhanakan kerumitan saat itu juga, “Duhai Allah, ampuni mereka karena mereka belum mengetahuinya.”
Sampai saat ini, saya amat teringat dengan doa Rasulullah itu. Sungguh, beliau memiliki kesabaran yang luar biasa. Lantas, saya mulai berpikir lagi. Saya petikkan kembali doa Rasulullah di atas, “Ya Allah, ampuni mereka karena mereka belum mengetahuinya.” Perhatikan kata-kata yang tercetak miring tersebut.
Sebuah pertanyaan menggeliat dalam benak saya: apakah ketika mereka sudah mengetahui akan kesalahan-kesalahan mereka dan kebenaran ajaran Rasulullah, lantas mereka mengakui kenabian Rasulullah dan mengakui bahwa Allah Tuhan Semesta Alam?
Saya yakin, kita akan ramai-ramai menjawabnya belum tentu. Satu pertanyaan lagi: kalau begitu, mengapa Rasulullah ngotot agar Allah mengampuni mereka yang belum mengetahui itu?
Masya Allah, ketika mengajukan pertanyaan terakhir itu, bulu-bulu roma saya merinding. Saya mulai memahami apa maksud doa Rasulullah tersebut. Begini…
Menurut saya, ketika Rasulullah memohonkan mereka ampunan karena mereka tidak mengetahui, sebenarnya di situ ada harapan besar Rasulullah. Beliau meyakini dan memercayai bahwa setelah orang-orang tersebut mengetahui ajaran Allah, mereka akan sadar dan mau mengikuti jejak Rasulullah.
Di sini, Rasulullah menunjukkan bahwa seorang penyabar selalu berpikir positif (positive thinking) dan berhati positif (positive feeling). Belakang hari, harapan Rasulullah menjadi kenyataan. Banyak pemuka kaum Quraisy—yang dahulu membencinya—berbalik arah menjadi pembela agama Allah.
Sampai saat ini pun kesuksesan Rasulullah saw masih terasa. Itu semua karena kesabaran beliau memberikan pencerahan hidup pada umat manusia. Terbukti sudah kesabaran mendatangkan kesuksesan hidup. Saya lebih senang menyebutnya: sabar sebagai the true power of success.
Sabar: The True Power of Success
Sukses bagaimanakah yang kita idam-idamkan? Banyak orang menginginkan kesuksesan dalam kehidupannya, termasuk saya. Namun, sudahkah kita mengetahui atau menuliskan konsep kesuksesan bagi diri kita sendiri? Karena, konon setiap jiwa memiliki standar sukses berbeda-beda. Artinya, dari perbedaan itu, kita harus merumuskan satu pilihan yang tepat untuk kehidupan kita.
Terserah apa pun konsep kesuksesan menurut subjektif diri kita. Yang jelas, semua kesuksesan itu membutuhkan karakter diri. Salah satunya ialah, melalui latihan kesabaran. Memang, latihan ini bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, bisa kita lakukan. Sulit tapi bisa. Tidak ada yang tidak mungkin.
Kalau kita senang membaca kisah orang-orang terkenal di dunia ini, kita akan mendapati sebuah kesimpulan praktis bahwa kesuksesan seseorang sangat bergantung pada hasratnya untuk berubah. Ada titik celah di sini. “Hasrat berubah” itulah yang saya sebut sebagai “hasrat kesabaran”. Artinya, ia memiliki hasrat atau kemauan keras untuk mewujudkan cita-cita luhur.
Kemungkinan besar, kegagalan seseorang disebabkan oleh ketidaksabaran dalam menjalani kehidupan. Ia tidak tahan berjuang keras mewujudkan impian-impian. Sehingga, ia mau bangkit kembali. Karakter yang lemah menjadikan kita cepat kalah melawan hawa nafsu.
Secara otomatis, ia termasuk dalam jiwa yang jauh dari kesabaran. Bagaimana mungkin kita akan mencapai kesuksesan tanpa adanya hambatan? Sungguh hal yang tidak mungkin, bukan? Saya tak mau menyalahkan siapa pun. Anda-lah yang lebih mengerti hidup dan masa depan Anda.
Hanya, yang perlu kita ingat, untuk mewujudkan kesuksesan dan kebahagiaan, hidup butuh hasrat untuk berubah. Hasrat inilah yang harus didongkrak oleh jiwa kesabaran.
Anda, termasuk saya, butuh pendorong untuk terus maju mengejar kesuksesan. Kita butuh kekuatan yang terus-menerus memotivasi kita untuk bergerak maju ke depan. Kita membutuhkan hasrat untuk berubah.
Oleh sebab itu, pada bagian ini saya tekankan supaya memiliki hasrat untuk berubah yang dipadukan dengan sifat sabar. Kalau kita hanya mengandalkan hasrat tanpa adanya karakter sabar, saya bisa memastikan bahwa semua hasrat itu tidak akan mungkin menjadi kenyataan. Kita sebaiknya mengombinasikan antara hasrat dan karakter sabar. Sehingga, kita dapat mencapai kesuksesan hidup dengan mulus.
Sebagai contoh, Anda berhasrat mengejar karier di kantor Anda. Anda pun mulai mendisiplinkan diri. Anda mulai memperbaiki hubungan dengan atasan, menorehkan prestasi kerja, dan seterusnya. Akan tetapi, sudah empat tahun lamanya, Anda pun tidak pernah menjadi apa yang Anda inginkan. Karier Anda pun sedang-sedang saja seperti sedia kala. Anda pun tidak sabar dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantor. Anda pindah kerja ke kantor yang lain.
Belakangan, Anda baru tahu bahwa kenaikan jabatan Anda (di kantor yang Anda tinggalkan itu) sudah direncanakan oleh pimpinan. Hanya membutuhkan dua tahun lagi. Pimpinan menginginkan Anda menambah pengalaman sebelum Anda benar-benar dinaikkan jabatannya. Akan tetapi, apa boleh buat, Anda sudah keluar dari kantor tersebut. Mungkin saja, jika Anda sedikit bersabar, impian karier Anda akan segera tercapai. Anda hanya menunggu dua tahun lagi.
Memang, tidak ada yang dapat menjamin baik tidaknya keputusan yang Anda ambil. Boleh jadi, di tempat kerja yang baru, Anda memperoleh semua impian Anda. Namun, saya yakin apabila Anda tidak mau bersabar dalam bekerja, sudah dapat dipastikan di tempat kerja mana pun, karier Anda tak kunjung akan banyak berubah—sesuai dengan harapan Anda. Kecuali, jika Anda menghalalkan segala cara.
Sebenarnya, siapa pun diri kita mampu memiliki karakter sabar. Kita hanya butuh sedikit latihan. Dengan terus berlatih, kita mulai menyuntikkan karakter sabar dalam hidup kita.
Bagaimana melatih diri supaya memiliki karakter sabar? Pertanyaan inilah yang akan saya jawab dalam bab selanjutnya. Silakan Anda telusuri buku ini bab per bab. Anda akan mendapatkan cara terbaik melatih diri meraih karakter sabar.
Menghadapi Musibah dengan Sabar
Kita mungkin terkejut dengan ungkapan ini, “Saya senang memperoleh musibah dari Allah. Dengan begitu saya selalu mengingat-ingat dosa dan kesalahan saya. Saya pun berlatih kesabaran dengan musibah yang menimpa kehidupan saya. Terima kasih, ya Allah.”
Di lain kesempatan, saya pun pernah membaca sebuah ungkapan yang tidak kalah menariknya. Begini bunyinya, “Allah tidak akan mungkin memberikan musibah di luar kemampuan manusia. Seberat apa pun musibah itu, pastilah kita mampu menghadapinya.”
Dua ungkapan di atas sedikit mengusik kita, bukan? Ungkapan tersebut mengingatkan saya bahwa hidup ini penuh dengan cobaan yang mesti kita hadapi. Kita tidak boleh menghindar dari cobaan Allah. Justru, kita mesti menguatkan kesabaran untuk menjalani dan menyelesaikan segala cobaan yang datang. Kita mesti mencari jalan keluar yang terbaik.
Kebahagiaan, secara otomatis, akan merasuki jiwa orang-orang penyabar. Mereka akan mengembalikan segala musibah kepada Allah. Keyakinan ini mengantarkan mereka pada kebahagiaan hidup ini.
Apa pun yang menimpa mereka, hanya satu ungkapan yang tepat: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” “Hanya Allah-lah tempat berasal dan kembali diri kita.” Bukti kesabaran kepada ketentuan Allah. Kalau sudah begini, energi sabar telah memasuki kehidupannya. Maka, berbahagialah!
Mengapa mesti bahagia? Penyebabnya, apa pun musibah yang datang kepada mereka, hanya membutuhkan satu jawabannya: sesungguhnya diriku berasal dari-Mu dan akan dikembalikan kepada-Mu. Musibah berasal dari-Mu dan akan Engkau tarik musibah itu. Engkau hanya memberikan ujian pada kami. Jadi, sebesar apa pun musibah yang datang dihadapi dengan penuh ketenangan.
Dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati (Q.S. Ali Imran [3]: 139).
Ketenangan dan kesabaran itulah—tanpa kita sadari—sebagai sumber pertolongan Allah SWT. Allah tidak akan tega melihat hamba-hamba-Nya yang selalu taat pada-Nya. Dia akan datang. Dia akan menurunkan pertolongan-Nya. Yakinlah!
Mendatangkan Pertolongan Allah
Apa benar kesabaran mampu mendatangkan pertolongan Allah? Kalau memang benar, kapan pertolongan Allah itu datang? Kok, sampai saat ini pertolongan Allah tak kunjung datang? Ada apa sebenarnya dengan kesabaran saya ini?
Pertanyaan-pertanyaan di atas, langsung dijawab oleh Allah melalui firman-Nya:
“Jika kamu bersabar dan bertakwa ketika mereka datang menyerang kamu dengan tiba-tiba, niscaya Allah akan menolongmu dengan lima ribu malaikat yang memukai tanda.” (Q.S. Ali Imran [3]: 125).
Nabi saw menegaskan, “Dan ketahuilah bahwa pertolongan itu datangnya bersama dengan kesabaran.” (H.R. Ahmad).
Tentu saja, kesabaran akan mendatangkan pertolongan Allah SWT. Bersamaan dengan kesabaran, pertolongan Allah datang memberikan secercah harapan dalam kehidupan kita. Memang, kadang kita jarang merasakan pertolongan Allah. Padahal, kalau kita mau merenungi sesaat saja dalam perjalanan hidup kita, akan banyak kita temui pertolongan Allah itu.
Kita menyangka bahwa pertolongan Allah datang ketika kita dilanda musibah, seperti bencana alam, kefakiran, dan kemiskinan. Padahal, tidaklah demikian. Kesehatan yang kita nikmati saat ini juga merupakan pertolongan Allah. Coba pikirkan bagaimana jadinya jika setiap hari kita sakit. Sudah pasti kita tak dapat beraktivitas sedikit pun.
Oleh sebab itu, hanya orang-orang yang merasakan pertolongan Allah yang dekat dengan-Nya. Di sinilah, letak Hukum Ketertarikan berlaku. Ketika kita merasakan pertolongan Allah, pada dasarnya, kita sedang memancarkan getaran positif ke lingkungan sekitar. Akibat getaran positif itulah, lingkungan pun merespons getaran kita itu. Sambutan alam lingkungan dalam diri kita benar-benar membuktikan tentang betapa dekatnya pertolongan Allah dalam diri kita.
Sebaliknya, kita yang tidak mau merenung dan merasakan betapa dekatnya pertolongan Allah, tanpa sadar kita memancarkan energi negatif ke alam sekitar. Alam sekitar pun membalikkan getaran itu ke dalam diri kita.
Ujung-ujungnya, pertolongan Allah semakin menjauh dari jiwa kita. Sesuatu yang tidak mau kita terima, jangan pula diberikan kepada orang lain, lingkungan, begitupun dengan Pencipta kita.
Wajar saja, ketika kita merasakan betapa dekatnya pertolongan Allah, tiba-tiba pertolongan itu benar-benar nyata. Kita mengharapkan supaya diberikan kemudahan dalam menjemput rezeki, eh, tiba-tiba kita benar-benar dimudahkan. Bisnis kita kembali membaik. Hubungan kita dengan pelanggan-pelanggan semakin erat. Kita pun bertambah bahagia.
Hukum Allah bekerja dengan begitu pas kadar takarannya dalam kehidupan kita. Kalau kita merasakan kedekatan dengan-Nya, Dia pun akan mendekat. Sebaliknya, jika kita merasakan jauh dengan-Nya, Dia pun akan menjauh. Inilah prinsip keseimbangan.
Tentunya, banyak faktor yang menentukan cepat lambatnya pertolongan Allah hadir dalam kehidupan kita. Di antaranya adalah keikhlasan kita, kesabaran kita, kesyukuran kita, dan doa-doa yang kita alunkan dalam hati. Kita membutuhkan kolaborasi ketiga komponen tersebut, yakni doa, syukur, dan sabar (saya akan perjelas ketiga komponen tersebut dalam bab selanjutnya).
Terlepas dari ketiga komponen itu, sebaiknya kita mulai mengencangkan tingkat kesabaran kita. Mulailah banyak berlatih kesabaran dalam menghadapi apa pun, termasuk menghadapi cobaan hidup ini. Ingat, kesabaran mengundang kasih sayang Allah SWT. Jika Allah sudah sayang kepada kita, apa pun yang kita kehendaki pastilah akan terkabulkan. Jadi, apa yang mesti kita khawatirkan? Segeralah bersabar dan dekatkan diri kita kepada-Nya.
Balasan bagi Orang yang Sabar
Apa balasan yang setimpal bagi orang-orang penyabar? Pahala menggunung kah? Atau…. Saya tidak berani mengatakan seberapa banyak kuantitas pahala dari Allah terhadap mereka yang penyabar. Bahkan, Allah pun tidak memberikan angka yang pasti. Kalau dalam matematika mungkin disimbolkan dengan tiga titik, seperti berikut: 1, 2, 3, …. Simbol titik tiga itulah menunjukkan arti tanpa batas. Begitulah balasan bagi para penyabar: “pahalanya tanpa batas” (Q.S. Az-Zumar [39]: 10).
Selain pahala yang tanpa batas, Allah akan memberikan ketenangan dalam jiwa-jiwa penyabar. Tidak ada kegelisahan dalam kehidupannya, yang ada hanyalah kedamaian, keharmonisan, kebahagiaan, dan energi positif lainnya.
Kala orang lain meraung-raung mengeluhkan kesengsaraan hidup, sang penyabar justru banyak bersyukur. Mereka terus menjaga dan mempertahankan kualitas syukurnya. Sekecil apa pun nikmat Allah yang mereka rasakan, sungguh betapa berharganya nikmat tersebut. Tiada keluh kesah, yang ada hanyalah permohonan ampunan. Astaghfirullah…
Allah pun mempermudah mereka mengejar kelimpahan dalam kehidupan ini. Tidak mengherankan bahwa orang-orang yang berjiwa sabar akan mudah mengendalikan perusahaannya, organisasinya, atau keluarganya. Interaksi dengan orang lain berjalan dengan baik. Tidak ada cekcok. Justru, mereka membangun persahabatan, saling menghargai perbedaan, bermusyawarah, dan toleran. Buahnya, mereka mendapatkan banyak kepercayaan dari orang lain.
Ini adalah modal baik untuk bekerja sama. Mau tak mau, rezeki pun mengalir dengan deras. Bukankah dengan mengikat tali silaturahim dengan orang lain dapat mengencangkan aliran rezeki dan memperpanjang umur?
Selain pahala dan kelancaran rezeki, kesabaran pun mendatangkan pesona kharismatik di mata manusia. Saya teringat sebuah peristiwa di zaman Baginda Nabi saw. Mungkin Anda masih mengingatnya. Coba kita bernostalgia sejenak…
Ketika Rasulullah saw dan para sahabat sedang duduk berdiskusi, tiba-tiba seorang Arab udik (badui) menghampiri masjid. Kehadirannya membuyarkan konsentrasi para sahabat. Namun, Rasulullah saw terlihat tetap tenang sambil menatap sang badui.
Tidak disangka, sang badui itu membuang air kecil di pojok masjid. Sontak saja suasana di masjid memanas. Para sahabat terlihat emosi, seolah-olah mereka tak tahan lagi untuk segera menghabisinya. Rasulullah saw pun mengulurkan tangannya, memberikan isyarat, “Tetap tenang.”
“Biarkan ia menyelesaikan hajatnya itu,” kata Nabi saw sambil tersenyum.
“Biarkan dia dan siram di atasnya (bekas air seninya) satu wadah air atau setimba air. Sesungguhnya kamu sekalian diutus untuk mempermudah dan bukan untuk mempersulit.” (H.R. Bukhari dalam Ash-Shahih, bagian wudhu).
Demikianlah kesabaran Rasulullah saw. Rasulullah tidak membentak orang badui tersebut, justru beliau mengajarkan kepada para sahabatnya untuk bersabar. Sahabat pun semakin menghargai Rasulullah saw.
Mereka merasakan betapa Rasulullah memberikan penerangan akan pentingnya menghadapi masalah secara tenang dan sabar. Sabar semakin menambah jiwa kharismatik Rasulullah di hadapan sahabatnya.
Anda pun dapat menyandang pribadi yang kharismatik alias berwibawa, bijaksana, dan kredibel. Anda butuh melatih diri menyuntikkan kesabaran dalam diri Anda. Sebagai contoh, jika Anda seorang bos atau pimpinan sebuah perusahaan/organisasi (CEO), Anda dapat mempraktikkan jiwa kesabaran di lingkungan kerja Anda.
Ketika karyawan Anda melanggar aturan-aturan perusahaan, cobalah hadapi dengan kesabaran. Panggillah ia dengan baik-baik. Lalu, berilah nasihat dengan penuh senyum, ramah, dan motivasilah dia untuk berubah. Insya Allah, hati karyawan Anda akan luluh seketika itu. Ia akan semakin menghargai Anda karena Anda telah menghargai dirinya.
Sikap Anda telah memancarkan energi positif (kesabaran) kepada karyawan Anda. Karyawan Anda pun akan merespons dengan getaran positif juga (sesuai dengan sunnatullah: Hukum Ketertarikan).
Saya menegaskan bahwa Allah memberikan balasan yang berlipat-lipat, baik di dunia maupun di akhirat, kepada hamba-hamba-Nya yang bersabar. Jadi, bersabarlah mulai saat ini.
Namun, sabar saja tidak cukup. Kita membutuhkan doa dan syukur. Doa dan syukur itulah yang perlu kita padukan dengan sabar. Ketiganya saling berkelindan. Kita benar-benar mencapai manusia yang penuh kebahagiaan di atas dunia ini dan di negeri akhirat kelak jika paduan ketiganya dieratkan.
Bagaimana memadukan antara doa, syukur, dan sabar? Segera temukan jawabannya dalam bab berikutnya. Selamat melanjutkan membaca!
3. KOLABORASI ENERGI DOA, SYUKUR, DAN SABAR
Dalam bab sebelumnya, sudah kita bicarakan bagaimana merengkuh energi doa, syukur, dan sabar. Mudah-mudahan Anda telah memahaminya. Saya berharap Anda segera mempraktikkannya. Namun, sebelum Anda benar-benar mengaplikasikan energi doa, syukur, dan sabar, sebaiknya Anda tuntaskan bab ini.
Perlu saya ingatkan, bahwa bab sebelumnya hanya mengemukakan energi doa, syukur, dan sabar secara parsial. Penjelasan itu belumlah memadai untuk membangun “taman” kebahagiaan dalam kehidupan kita. Maka, sengaja saya tuliskan bagian ini supaya kita semakin menyadari dengan pasti bagaimana mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan melalui doa, syukur, dan sabar.
Setelah membaca bab sebelumnya, saya senang sekali. Mengapa? Setidaknya kita sudah memahami energi-energi yang tersimpan dalam Al-Qur’an dan bagaimana Al-Qur’an mengemukakan Hukum Ketertarikan.
Kita sudah memahami apa itu energi doa dan mengapa doa seseorang tak kunjung terjawab. Kita pun sudah mengerti bagaimana mendatangkan rasa syukur dalam jiwa kita. Begitu pun dengan kesabaran. Saya yakin, kita sudah memahami arti dan cara merengkuh kesabaran dalam kehidupan.
Sekarang, saatnya kita mengolaborasikan ketiganya: doa, syukur, dan sabar. Mungkin dalam benak kita muncul sebuah pertanyaan: mengapa mesti mengolaborasikan ketiga komponen tersebut? Bukankah satu saja sudah cukup?
Mari kita temukan jawabannya bersama…
Selama ini, saya mengamati betapa banyak diri kita yang hanya terfokus pada satu energi. Selama ini, kita terfokus pada doa saja. Atau, kita terfokus pada sabar saja. Seolah-olah, doa, syukur, dan sabar adalah tiga komponen yang saling terlepas. Seakan-akan, tidak ada kaitannya antara satu sama lain. Doa ya doa; syukur ya syukur; dan sabar ya sabar.
Padahal, ketiga komponen itu memiliki keterkaitan erat untuk membangun kebahagiaan dalam kehidupan ini. Doa, syukur, dan sabar perlu dipadukan dalam satu kesatuan.
Ambillah sebuah tamsil. Bayangkan jika kita membuat secangkir teh tanpa gula. Apa jadinya? Rasanya pahit, bukan? Untuk menyajikan secangkir teh yang enak, tentu kita membutuhkan gula sebagai pemanis. Kita juga memerlukan air hangat, dan tidak boleh terlewatkan sendok untuk mengaduknya. Kita campurkan bubuk teh, air hangat, dan gula. Lalu, kita aduk sampai benar-benar merata. Rasanya pasti nikmat.
Begitu pun dengan kehidupan ini. Kita membutuhkan doa, syukur, dan sabar secara bersamaan. Kemudian, kita aduk ketiga komponen tersebut. Dalam perkataan lain, apabila kita melakukan kolaborasi antara ketiganya, kita akan merasakan nikmatnya menjalani hidup ini.
Pasalnya, sampai saat ini, kita berdoa tanpa dibarengi dengan syukur. Begitu pun, kita bersyukur tanpa diiringi dengan kesabaran. Ketika kita diberikan kenikmatan, lantas kita bersyukur. Namun saat Allah menguji kita dengan kesengsaraan, kita lupa bersabar.
Sejatinya, syukur dan sabar haruslah sejalan. Syukur adalah buah dari kesabaran. Orang yang senantiasa membiasakan diri untuk bersabar, besar kemungkinan memiliki tingkat kesyukuran yang sebanding. Orang penyabar lazimnya “melek syukur”. Meskipun, ada kemungkinan pula mereka yang sering bersyukur tidak mampu menahan kesabaran tatkala nikmat dicabut dari dirinya.
Saya teringat sebuah pernyataan Rasulullah saw tentang kesabaran dan kesyukuran.
“Sungguh unik urusan orang yang beriman itu. Semua urusan baik baginya. Hal itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman, jika dia memperoleh kegembiraan, dia bersyukur, dan itu baik baginya; jika ditimpa kesulitan, dia bersabar, dan itu baik baginya.” (H.R. Muslim).
Pernyataan Rasulullah saw tersebut semakin memperkuat bahwa sabar dan syukur harus dilakukan sejalan. Manakala kita mendapatkan kesenangan, kesyukuran adalah bayarannya, dan ketika kita diterpa badai kesengsaraan maka sabar adalah bayarannya. Semua bayaran itu ditujukan untuk kebaikan diri kita.
Betapa banyak orang yang bersyukur dan bersabar mendapatkan hidayah dari Allah. Tidak menutup kemungkinan, kesenangan dan kesengsaraan membukakan pintu inspirasi (baca: hidayah Allah) bagi diri kita menuju perbaikan diri. Kesabaran (istiqamah) dan kesyukuran (tasyakkur) haruslah menyatu.
Sekali lagi, mari kita pahami bahwa doa, syukur, dan sabar harus berkelindan dalam kehidupan kita. Ketiganya melebur menjadi satu keutuhan. Three in one. Paduan itu harus menyatu dalam relung terdalam hati kita. Tidak boleh bekerja sendiri-sendiri. Doa kita tidak akan mungkin terkabulkan tanpa adanya kesyukuran dan kesabaran. Hal ini perlu kita renungkan baik-baik.
Mungkin sampai saat ini kita sudah bersungguh-sungguh mengangkat tangan kepada-Nya. Kita meminta banyak permohonan dan keinginan kepada-Nya. Pada kenyataannya, keinginan-keinginan itu tidak terwujud secepat yang dibersitkan dalam hati. Kita pun merasa kecewa dan putus asa.
Sebenarnya, Allah senantiasa mengabulkan permintaan hamba-Nya. Dia memberikan apa yang kita inginkan. Bahkan, sampai detik ini, Dia telah memberikan apa yang kita idam-idamkan, meskipun terkadang kesadaran luput hadir di dalam diri kita.
Permasalahannya adalah kita sering belum mengetahui apa sebenarnya keinginan-keinginan kita itu. Kita memang telah berdoa setiap hari, meminta keinginan dan cita-cita kita. Akan tetapi, sudahkah kita menanyakan kepada diri kita dan Allah SWT? Apakah memang keinginan itu sesuai dengan diri kita atau isi hati kita?
Jangan-jangan, apa yang kita minta justru tidak sesuai dengan isi hati kita sendiri (lisan dan hati kita saling bertikai). Berdasarkan hal ini, cobalah berdoa kepada-Nya agar Dia menunjukkan apa yang kita inginkan.
Selain memohon kepada Sang Khalik, kita juga membutuhkan kesabaran dan kesyukuran. Kita harus memiliki sikap syukur dan sabar. Kemudian, kita kolaborasikan energi doa, syukur, dan sabar maka Allah niscaya mengabulkan doa-doa kita. Kehidupan kita semakin tenang, bahagia, nikmat, dan minim keluh kesah.
Lalu, bagaimanakah ketiga komponen tersebut bekerja dalam kehidupan kita sehingga doa-doa kita terkabulkan, hidup kita bahagia, tenang, dan seterusnya? Terdapat beberapa cara jitu yang dapat kita lakukan untuk meluluskan doa-doa kita agar hidup kita bertaburkan “bunga-bunga” kebahagiaan. Di antaranya adalah:
- Kenalilah apa yang sebenarnya kita inginkan;
- Teruslah berdoa saat senang maupun susah;
- Tanamkan kuat-kuat apa tujuan doa kita;
- Hidupkan rasa syukur di dalam hati;
- Gunakan energi sabar untuk bangkit dari kegagalan, untuk menyinari kegelapan yang berselimut; dan
- Shalatlah dengan penuh syukur dan sabar.
Mari kita praktikkan satu per satu!
Pertama, Kenalilah Apa yang Sebenarnya Kita Inginkan
Mengenali keinginan-keinginan kita memang bukan pekerjaan yang mudah. Terlebih, apabila mengenali keinginan-keinginan yang sesuai dengan hati kita. Sering kali, kita berdoa kepada Allah untuk meminta keinginan-keinginan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan isi hati kita. Kita senantiasa meminta kepada-Nya supaya memberikan rezeki. Kita menaruh harapan besar dari keinginan diri kita.
Padahal, pada kenyataannya, hati kita merasa lumrah dengan perasaan takut miskin. Hati kita selalu fokus pada kemiskinan. Dalam lubuk terdalam hati kita pun selalu bergejolak gelombang yang mempertanyakan (meragukan) terkabul atau tidaknya doa kita.
Jika keadaannya seperti ini, sebenarnya apa yang kita pinta tidak sesuai dengan isi hati kita. Kita meminta sebuah kebahagiaan, tapi hati kita selalu diliputi kemurungan. Kita memohon kelimpahan, tetapi kita selalu takut akan kemiskinan dan meragukan terkabulnya doa tersebut.
Saat kita bersimpuh untuk datangnya sebuah kelapangan, hati kita masih diimpit kesempitan. Dalam kondisi begini, kita belum mengenali apa sesungguhnya keinginan-keinginan kita tersebut.
Cara paling efektif untuk mengenali apa yang kita inginkan, yakni dengan bertanya kepada diri sendiri, “Jadi, apa yang saya inginkan?” Kemudian, kenalilah hal-hal yang membuat kita merasa senang dan jadikan itu sebagai kebiasaan.
Cobalah mencatat hal apa saja yang kita sangat senangi. Hanya kita yang mengetahui hal apa saja yang dengannya dapat menjadikan kita bersemangat, senang, dan mengerjakannya tanpa terbebani.
Agar mudah bagi kita menemukan keinginan-keinginan yang “tersembunyi”, cobalah tanyakan pada diri kita sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Berdialoglah dengan diri kita sendiri. “Istifta’ al-qalb!” kata Rasulullah. Berkomunikasilah dengan benak Anda sendiri!
- Apa saja keinginan-keinginan saya?
- Mengapa saya menginginkan hal tersebut?
- Jika saya berhasil mewujudkan keinginan-keinginan tersebut, apakah saya merasa bahagia? Kalau memang saya bahagia, apa penyebab kebahagiaan saya itu?
- Bisakah saya tersenyum bahagia ketika keinginan-keinginan saya terwujud? Mengapa?
- Apa arti dan maksud kebahagiaan menurut sudut pandang saya?
Renungilah pertanyaan-pertanyaan di atas, dan jawablah dengan sejujur-jujurnya. Insya Allah, kita segera mengenali keinginan-keinginan kita dan sesegera mungkin menjadikan keinginan tersebut sebagai kebiasaan hidup kita.
Ambil sebuah tamsil, Anda senang sekali menjadi seorang yang menggeluti public speaking. Kemahiran berkata-kata Anda cukup memadai. Anda memiliki kemampuan retorika yang dahsyat. Bahkan, Anda sudah berkali-kali dipercaya memandu pelatihan-pelatihan motivasional ataupun acara yang melibatkan banyak orang.
Anda merasa bersemangat ketika berbicara di hadapan audiens. Anda senang berbagi dengan orang lain melalui gaya berbicara Anda yang unik. Anda bahkan menisbatkan diri sebagai “orator ulung”, “singa podium”, “trainer sejati”, “motivator paling berbakat”, “pemimpin persuasif”, dan sebagainya.
Kemudian, cobalah berdoa supaya Allah memberikan jalan yang terbaik untuk mendatangkan kelimpahan melalui kesenangan Anda tersebut. Mohonlah kepada Allah supaya kemampuan Anda semakin hari semakin baik. Mohon juga kepada-Nya semoga kemampuan Anda tersebut terus berkembang dan mampu menghasilkan rezeki. Anda berharap untuk menjadi seseorang yang optimal. Anda meyakini bahwa Anda pasti bisa, berhasil, dan sukses.
Saya yakin dengan keinginan-keinginan Anda tersebut, yang Anda perkuat dengan doa, insya Allah, tidak lama lagi Anda akan menjadi seorang pembicara yang andal. Kesabaran dan rasa syukur dibaktikan seiring; Anda menghiasi waktu. “Mimpi” itu segera menjemput diri Anda. Rezeki pun mengalir dalam hidup Anda. Contoh ini adalah realitas konkret yang terjadi dalam kehidupan saya.
Sejak masa SMU (Sekolah Menengah Umum), saya senang sekali menjadi pembicara. Bahkan, saya bercita-cita menjadi seorang pimpinan perusahaan. Dengan menjadi seorang pemimpin, kemampuan berbicara sangat diperlukan. Karena, seorang pemimpin bukan semata-mata cerdas logis-matematis, ia pun harus cerdas berkata-kata. Malahan, seorang pemimpin membutuhkan tingkat kecerdasan yang bertingkat, baik secara intelektual, emosional, dan bahkan spiritual.
Saya pun mengamati pemimpin-pemimpin yang berpengaruh di dunia. Ternyata, mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan mengolah retorika yang baik. Mereka mampu menggugah orang dengan untaian kata yang inspiratif. Mereka merupakan pembicara yang efektif.
Saya pun terus melakukan kebiasaan itu (berlatih berbicara di hadapan orang banyak). Di kampus tempat saya belajar, saya berusaha memberikan opini-opini dan mengkritisi bahan pelajaran yang diberikan oleh dosen saya. Saya berdiskusi dengan teman-teman secara berkala. Kebiasaan yang dibangun ini menyebabkan kemampuan komunikasi lisan saya berkembang dan cenderung membaik.
Sebuah kesempatan yang membuat saya sangat senang adalah ketika saya dipercaya oleh seorang teman untuk memberikan motivasi kepada peserta pelatihan pengembangan diri. Saya beruntung sekali. Ternyata, saya menyampaikannya dengan sangat baik.
Dari pengalaman inilah, titik tolak saya menjadi pembicara berawal. Banyak teman dan kolega saya yang memercayai saya untuk memandu acara-acara di kampus maupun dalam kegiatan ekstrakampus. Bahkan, sampai saat ini, tak terhitung lagi berapa kali saya memberikan pelatihan motivasi maupun pelatihan penulisan kepada orang banyak. Sudah tidak terbilang lagi pengalaman yang saya raih ini.
Hati saya berbisik, “Doa saya sudah terkabul setiap kali saya mengangkat tangan di hadapan-Nya.” Saya bertambah yakin bahwa faktor yang paling penting bagi sang pendoa adalah mengenali dirinya dari keinginan-keinginannya. Salah satunya adalah yang sudah saya tegaskan sedari awal: kenali hal-hal yang kita senangi dan jadikan hal itu sebagai kebiasaan kita.
Meskipun kita belum mengetahui sebenarnya tentang hal-hal yang kita senangi, tidak perlu berkecil hati. Berdoalah pada-Nya. Mintalah kepada-Nya supaya memberikan petunjuk. “Ya Allah, berilah hamba petunjuk apa sebenarnya keinginan-keinginan yang ada dalam hati hamba ini. Bukakanlah hati ini ya Allah.”
Allah Maha Tahu kehendak sebenarnya dalam hati kita. Namun, kita pun perlu memperkuat doa kepada-Nya. Jangan bosan-bosan untuk melantunkan doa-doa permohonan untuk meminta petunjuk dari-Nya. “Ya Allah, apa sesungguhnya yang Engkau inginkan dalam kehidupan hamba ini? Berikan hamba petunjuk-Mu.”
Banyak contoh orang yang sukses karena memang sejak awal mereka memahami persis apa yang mereka inginkan dan mengetahui misi hidupnya. Mereka mengerti keinginan-keinginan mereka dalam menapaki tangga kehidupannya.
Bill Gates sudah mengetahui sejak muda bahwa ia akan menjadi pakar di bidang software komputer, sehingga ia terus menempa dirinya dan terus mengembangkan kebiasaannya bergelut dengan software komputer. Kini, ia dikenal sebagai orang yang sangat sukses. Padahal, pada masa kuliahnya ia pernah drop out. Ia bukanlah orang yang pintar.
Pria kelahiran 28 Oktober 1955 yang bernama asli William H. Gates ini adalah otak brilian dari Microsoft, perusahaan global yang bergerak di bidang pembuatan software dan teknologi internet untuk komputer pribadi dan bisnis. Siapa yang tak mengenal piranti software bernama Windows dan aneka versi Microsoft Office-nya? Microsoft merupakan raja piranti lunak yang belum terkalahkan. Semua orang di dunia familiar dengan produk buatan Microsoft tersebut.
Bill Gates kecil tumbuh di Seattle, Amerika Serikat, bersama kedua orang kakak perempuannya. Bill kecil tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri di bawah didikan ayahnya, William Gates, yang berprofesi sebagai pengacara, dan ibunya, Mary Gates, yang berprofesi sebagai guru.
Minat dan bakatnya pada dunia programming dimulai sejak usia 13 tahun. Pada 1973, saat menjadi mahasiswa baru di Universitas Harvard, salah satu kampus bergengsi dan sangat populer, ia mengembangkan bahasa pemrograman BASIC untuk komputer mikro. Pada 1975, Bill memutuskan untuk berhenti kuliah dan memulai debut bisnis Microsoft dengan bantuan seorang teman akrabnya, Paul Allen.
Sebuah impian sederhana Bill Gates saat itu adalah membuat suatu piranti lunak yang memudahkan setiap pemakai komputer di dunia. Dia ingin menjadikan komputer sebagai teman sejati manusia. Impian Bill Gates tidak berjalan mulus. Banyak orang mencibir usahanya. Maklum, pada masa itu komputer adalah jenis barang mewah yang hanya dapat dioperasikan oleh orang-orang pintar.
Akan tetapi, impian sederhana Bill Gates terlalu besar untuk dipatahkan oleh keterbatasan yang dimilikinya. Garasi rumahnya pun dipakai sebagai workshop sekaligus kantor. Justru dari sinilah, ia memulai debutnya sebagai orang terkaya di dunia lewat ide gemilangnya: Microsoft.
Lain Bill Gates, lain pula kisah sukses Bob Sadino. Pria perlente yang tidak pernah lepas dari celana pendeknya ini adalah salah satu sosok entrepreneur sejati yang memulai usahanya dari nol. Bob Sadino juga bukanlah keturunan pengusaha. Bakat bisnisnya muncul begitu saja ketika ia “kepepet.”
Titik balik yang getir menimpa keluarga Bob Sadino. Ia rindu untuk pulang kampung setelah merantau sembilan tahun di Belanda dan Jerman sejak tahun 1958. Ia membawa pulang istrinya dan mengajaknya hidup serba kekurangan. Padahal, sebelumnya mereka hidup mapan dengan gaji yang cukup besar.
Modal yang ia bawa dari Eropa, satu dari dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an dijual untuk membeli sebidang tanah di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Sedangkan, sebuah mobilnya lagi ia ubah menjadi taksi dan ia sendiri sopirnya.
Bob bertekad tidak ingin lagi menjadi karyawan yang diperintah atasan. Pengalamannya selama belasan tahun menjadi karyawan sudah cukup baginya. Karena itu, ia bersedia bekerja apa saja untuk menghidupi diri sendiri dan istrinya, asalkan memiliki kebebasan penuh atas waktunya.
Setelah mobilnya yang dijadikan taksi mengalami kecelakaan, ia pun beralih menjadi kuli bangunan dengan upah harian Rp 100. Bekerja banting tulang menjadi kebiasaannya.
Untuk menenangkan pikirannya, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono Berlambang. Inspirasi berwirausaha Kedai Chicks justru muncul ketika secara tak sengaja Bob mengamati ayam-ayamnya.
Ia merenung. Ayam-ayam saja bisa berjuang hidup, apalagi Bob yang manusia berakal pikiran. Bob pun mulai serius memelihara ayam-ayamnya. Kebetulan, saat itu di Kemang belum ada peternak ayam; sehingga warga di sana sulit membeli telur ayam.
Setiap hari, Bob dan istrinya berjualan telur. Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, langganannya sudah banyak. Terutama kaum ekspatriat Kemang. Maklum, mereka berdua fasih berbahasa Inggris. Cara promosinya, juga terbilang unik. Bob percaya kualitas pelayanan untuk pelanggan adalah yang utama. Oleh karena itu, Bob sebisa mungkin tidak mengecewakan pelanggan.
Suatu hari, Bob iseng menaruh salah satu telur busuk di antara telur-telur seorang pelanggannya dengan tujuan untuk membuktikan ucapannya mengenai layanan purna jualnya. Tentu saja, ulahnya kali ini berbuah komplain dari pelanggan tetapnya. Bukan justru panik. Bob malah senang. Bisiknya dalam batin, “Akhirnya ada juga yang komplain…”
Sesuai janjinya, Bob pun memuaskan pelanggan yang dikecewakan tersebut. Yaitu, tidak hanya mengganti sejumlah telur yang busuk, tetapi juga memberikan beberapa kilogram telur baru sebagai kompensasi.
Rupanya, sang pelanggan senang. Tersiarlah berita dari mulut ke mulut mengenai layanan purna jual itu. Pelanggan Kedai Chicks pun kian bertambah. Pelanggan semakin membludak. Bob Sadino berhasil mendapatkan kepercayaan di mata pelanggannya.
Dari sini, usaha Bob menanjak. Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kedai Chicks dan pengusaha perladangan sayur dengan sistem hidroponik. Lalu, ada Kedai Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah warung shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal tahun 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 hingga 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar.
Demikianlah, contoh kisah hidup Bill Gates dan Bob Sadino yang berjuang keras mewujudkan keinginan-keinginannya. Bill Gates maupun Bob Sadino memahami benar apa yang mereka inginkan. Meskipun badai kesengsaraan dan kegagalan datang, tapi mereka tidak gentar. Mereka bangkit kembali dan mengejar keinginan-keinginan mereka. Tidak gentar menghadapi halilintar, surut, bertekuk lutut, pantang menyerah.
Lalu, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengenali keinginan-keinginan kita? Apa yang kita senangi dalam kehidupan ini dan sebagainya?
Jika kita belum juga mengetahui keinginan kita dalam kehidupan ini, sekali lagi, mohonlah kepada-Nya supaya memudahkan jalan terbaik dalam kehidupan kita. Kita dapat memohon keinginan-keinginan kepada Allah terhadap diri kita, karena Allah telah mempersiapkan skenario dalam kehidupan hamba-Nya. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jika Anda menanyakan kepada-Nya: apa keinginan Allah terhadap jalan hidup saya?
Kedua, Berdoalah maka Allah akan Menyambutnya
Teruslah berdoa. Inilah nasihat yang cukup kuat memengaruhi kehidupan saya. “Teruslah berdoa meskipun doamu itu belum terkabulkan.” Pernyataan ini, sampai saat ini, terus terekam dalam hidup saya.
Kapan pun, hati saya selalu berdoa, meminta keinginan-keinginan saya, meskipun keinginan-keinginan itu belum terwujud. Saya tidak akan pernah berhenti mengadu kepada-Nya, karena saya meyakini bahwa Allah sudah mengabulkan doa saya. Jika saya berhenti berdoa kepada-Nya, itu berarti saya kufur terhadap nikmat Allah. Kita kufur (kufr), kita “menutupi kebenaran”, bahwa kita telah dienugerahi banyak nikmat. Maka, berdosalah saya.
Dalam keadaan apa pun, sebaiknya, kita terus bermunajat meminta pertolongan kepada-Nya, kala susah maupun senang. Doa harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Allah tidak senang melihat hamba-hamba-Nya yang melantunkan doa-doa kepada-Nya di saat tertimpa musibah saja. Tapi, setelah musibah itu pergi, mereka melupakan Allah.
Senada dengan hal di atas, saya teringat nasihat Nabi saw kepada sahabatnya, Abu Dzar. Saya pernah membaca cerita tersebut dari sebuah buku yang saya beli entah beberapa tahun lalu. Saya pun mencoba mengingat-ingat buku tersebut. Akan tetapi, saya benar-benar lupa. Yang saya ingat hanyalah warna sampul buku tersebut. Warnanya putih dengan ukuran layaknya buku-buku pada umumnya.
Saya pun menyisir seluruh buku saya yang terpajang di atas lemari. Saya telusuri satu demi satu. Namun, saya tak kunjung menemukannya. Saya mulai putus asa. Lalu, saya berhenti mencari. Saya coba praktikkan Hukum Ketertarikan.
Saya mulai bertanya dalam diri saya sendiri, “Jadi, apa yang saya inginkan?”
Tiba-tiba hati saya menjawab, “Saya ingin menemukan nasihat Rasulullah kepada Abu Dzar yang terkait dengan doa.” Saya fokuskan pikiran saya pada keinginan saya saat itu: buku tersebut harus ketemu, ya harus.
Setelah beberapa menit, pikiran dan perasaan saya memfokuskan pada hal-hal yang saya inginkan. Kemudian, saya pun mengangkat tangan, lalu berdoa, “Ya Allah, tunjukkanlah buku itu. Bantulah aku menemukan cerita itu. Bantulah aku, ya Allah.”
Saya terkejut bukan kepalang. Ternyata, buku yang saya cari-cari itu berada tepat di depan saya. Hanya, sedari tadi buku itu terselip dan terhalang oleh sebuah buku yang warnanya hampir sama. Jadi, saya tidak dapat melihatnya.
Sekarang, buku itu benar-benar ada di depan saya. Saya pun melihat daftar isinya. Benar! Buku ini yang saya cari. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan judul Adab Doa Mustajab, karya Sa’id Al-Lahham. Ternyata Hukum Ketertarikan sudah bekerja dalam kehidupan saya.
Oh ya, kembali ke pembicaraan di awal tadi bahwa kita dianjurkan berdoa dalam keadaan apa pun, susah atau senang, sempit atau lapang. Dalam keadaan susah maupun senang sama saja, kita tetap berdoa kepada-Nya. Berikut saya kutipkan dari buku yang saya temukan tadi.
Rasulullah saw pernah berkata kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, maukah aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat yang dengannya Allah akan memberikan manfaat bagimu?”
“Tentu, ya Rasulullah,” jawab Abu Dzar.
“Bertakwalah kepada Allah maka Allah akan membimbingmu. Ingatlah selalu akan Allah maka akan kau temui Dia tepat di depanmu. Ingatlah Allah di saat mendapat kesenangan maka Dia akan mengingatmu di saat kesusahan. Bila engkau meminta, mintalah kepada Allah; dan bila engkau mencari pertolongan, minta tolonglah kepada Allah, karena apa pun yang terjadi hingga pembalasan pasti telah ditetapkan, dan bila seluruh makhluk berusaha bersama membantumu terhadap apa yang tidak ditetapkan Allah, mereka tak akan dapat melakukannya.”
Tidak disangsikan lagi, orang-orang yang selalu berdoa, baik susah maupun senang, akan mendapatkan sambutan baik dari Allah SWT. Maka, sebaiknya kita perlu kembali mengoreksi diri kita selama ini. Sudahkah kita memanjatkan keinginan-keinginan kita meski dalam keadaan riang maupun sedih? Kalau belum, sekaranglah saat yang tepat.
Imam Ja’far Ash-Shadiq menegaskan bahwa orang yang selalu berdoa kepada Tuhannya di kala senang maka doanya akan dijawab di kala mengalami kesusahan. Segenap penghuni langit akan berucap, “Ini suara yang kami kenali,” dan dia tidak akan pernah lenyap dari langit.
Sebaliknya, orang yang melupakan Allah ketika diberikan kesenangan maka ketika mereka diterpa musibah, doa mereka tidak akan dijawab Allah. Penghuni langit pun berkata, “Itu suara yang tidak kami kenal….”
Ini sejalan dengan firman Allah, “Mereka melupakan Allah, maka Allah pun melupakan mereka.” (Q.S. At-Taghabun [64]: 68).
Jika kita tidak mau berdoa kepada-Nya, kita termasuk kelompok orang yang sombong, takabur. Doa termasuk salah satu wujud penghargaan kita kepada Allah SWT. Doa memang menjadi tanggungan manusia sebagai hamba Allah.
Lalu, mengapa kita enggan “merengek” di hadapan-Nya? Berdoalah! Teteskanlah air mata penuh dengan kesungguhan di hadapan kegiatan ilahiah. Dengan begitu, kita mengakui dan sangat meyakini keberadaan-Nya. Hidup dan mati kita pun berada di bawah kekuasaan-Nya. Dia-lah Maha Pemilik Kekuasaan.
”… Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina-dina.” (Q.S. Al-Mu’min [40]: 60).
Ketiga, Tanamkan Kuat-kuat Tujuan Doa Kita
Kita sudah cukup mengenali keinginan kita. Kita harus memberikan perhatian positif lebih banyak lagi. Perhatian positif inilah yang diwujudkan dengan tujuan doa kita.
Sebaiknya, mulai saat ini, tujuan doa kita memiliki nilai-nilai yang positif. Hindarilah pikiran-pikiran negatif. Misalnya, jauhilah dalam hati dan pikiran kita yang selalu fokus pada keragu-raguan, ketakutan, kekhawatiran, dan kegelisahan.
Apa sebabnya?
Karena Hukum Ketertarikan (sunnatullah) akan menggandakan apa saja yang kita rasakan atau pikirkan dengan segenap energi dan fokus pikiran. Tatkala kita ingin doa-doa kita dikabulkan oleh Allah, curahkan seluruh perasaan dan pikiran kita pada keinginan-keinginan kita tersebut.
Lupakan dan buang jauh-jauh rasa ragu, kekhawatiran, ketakutan, dan kegelisahan kita. Tenanglah. Perlahan-lahan, aturlah kendali perasaan dan pikiran kita. Perlahan-lahan, alihkan fokus perasaan dan pikiran kita pada hal-hal yang kita inginkan supaya terjadi dalam kehidupan kita.
Begini caranya…
Sebelum kita berdoa (meminta keinginan-keinginan yang sudah kita kenali) dan kita masih meragukan terkabulnya doa tersebut, berhentilah sejenak. Diam sejenak dan tenangkan hati kita. Kemudian, tetapkan tujuan doa kita dengan jelas dalam hati.
Misalnya, kita dapat mengucapkan pernyataan ini: “Ya Allah, dengan rasa keikhlasan dan kebahagiaan saya maka saya mohon kepadamu….” lalu ucapkan permohonan kita.
Kemudian, fokuskan terus perasaan dan pikiran pada keinginan kita, jangan berpikir negatif. Ketika pikiran-pikiran negatif mulai membuyarkan konsentrasi kita, diamlah sejenak. Lalu, kuatkan kembali tujuan berdoa kita. Ikhlas dan tetaplah berdoa.
Ketika kita berhasil memberikan perhatian pada keinginan-keinginan kita dalam doa, keinginan-keinginan itu akan terbawa ke dalam getaran (pikiran dan perasaan) yang kita pancarkan ke alam sekitar.
Hukum Ketertarikan (sunnatullah) akan merespons getaran yang kita pancarkan saat ini. Bahkan, ketika kita terfokus semata-mata karena Allah, lillahi ta’ala, doa kita dapat menggerakkan apa pun.
Rasulullah saw pernah menuturkan hal tersebut. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal, Nabi saw mengemukakan, “Bila engkau mengenal Allah sebagaimana mestinya Dia dikenali, pastilah gunung-gunung dapat kau gerakkan dengan doamu.”
Demikianlah pentingnya menanamkan tujuan doa kita dan memfokuskan pikiran dan perasaan kita pada keinginan-keinginan yang kita panjatkan saat berdoa.
Keempat, Dari Mana Datangnya Keragu-raguan Itu?
Walaupun kita sudah menanamkan kuat-kuat tujuan berdoa kita, rasa ragu-ragu sering berseliweran dalam hati kita. Keraguan berasal dari keyakinan-keyakinan kita yang menghambat terwujudnya segala keinginan-keinginan.
Apakah keyakinan yang menghambat keinginan-keinginan kita itu? Keyakinan penghambat adalah pikiran negatif yang sering muncul di dalam benak kita. Pikiran-pikiran seperti itu selalu menghantui diri kita. Akibatnya, kita memancarkan getaran (pikiran) negatif ke alam sekitar. Hasilnya, alam sekitar pun akan membalas getaran itu.
Ketika getaran ketidakyakinan kita kirimkan ke alam sekitar, alam sekitar pun akan merespons ketidakyakinan kita tersebut. Resultan yang diperoleh, kita benar-benar mengalami keraguan atas terwujudnya keinginan-keinginan kita. Keinginan kita pupus di tengah jalan.
Adilkah cara mengenali keyakinan-keyakinan yang menghambat dalam diri kita?
Ada beberapa cara sederhana untuk mendeteksinya. Keyakinan penghambat itu dapat dengan mudah kita temukan melalui alasan-alasan yang kita lontarkan ketika kita menginginkan terwujudnya cita-cita dan permintaan kita. Alasan tersebut dapat kita temukan manakala kita mengucapkan kata, “karena…”. Misalnya, “Saya tidak mungkin menjadi kaya karena…”
Berikut ini beberapa contohnya:
- Saya ingin menjadi orang kaya tetapi tidak mungkin dapat terwujud, karena saya berasal dari keturunan orang miskin;
- Saya ingin sekali menjadi pembicara andal tetapi tidak mungkin terjadi, karena saya masih sangat muda;
- Saya ingin sekali mendapatkan jodoh yang berakhlak baik dan berwajah cantik/tampan tetapi tidak mungkin saya mendapatkannya, karena saya buruk rupa;
- Saya ingin bertubuh ramping tetapi sulit direalisasikan, karena semua anggota keluarga saya memang gemuk; dan sebagainya.
Sebenarnya, masih banyak contoh pernyataan atau keyakinan penghambat dari dalam diri kita untuk menjadi lebih baik. Kenyataannya, dalam hidup ini kita sering kali mengungkapkan pernyataan di atas dalam diri kita. Mulai dari bangun tidur hingga kita menyatakan diri kita tidak akan mampu mendapatkan pelanggan yang tertarik dengan barang dagangan kita (jika kita seorang pedagang). Kita pun benar-benar tak mendapatkan pelanggan.
Dua kerugian yang kita dapatkan. Pertama, kita sudah dongkol dan berputus asa terlebih dahulu sehingga kita berjualan dengan perasaan terbebani. Kita membebani perasaan kita. Kita berprasangka buruk (su’uzhan). Kasihanilah perasaan kita.
Kedua, jika benar-benar para pelanggan tidak tertarik dengan barang jualan kita, diri kita semakin memberontak. Kita mulai lupa bahwa Allah menguji ketahanan diri kita. Namun, karena perasaan kita diawali dengan rasa tidak yakin, tidak ikhlas, kita semakin menyalahkan diri sendiri: “Ah, saya memang tidak berbakat menjadi seorang pedagang. Saya mau berhenti saja.”
Sebaiknya, sebelum kita benar-benar bekerja, perbaruilah frekuensi perasaan dan pikiran kita.
Bahagiakanlah diri kita dengan pekerjaan yang kita geluti sehingga kita berangkat meninggalkan rumah dengan perasaan senang, bahagia, tanpa beban sedikit pun. Kita meyakini hari ini rezeki Allah akan curah berlimpah ruah. Ketekunan yang kita tanam menuaikan hasil yang memuaskan.
Mudah-mudahan, dengan keyakinan seperti itu, kita dapat meraup keuntungan yang cukup untuk kehidupan kita. Walaupun hari itu kita tidak mendapatkan pelanggan yang tertarik dengan barang dagangan kita, setidaknya kita masih memperoleh keuntungan: perasaan kita tetap bahagia dan kita tetap bersyukur, optimis, serta sabar. Kita memperoleh pahala atas kesyukuran dan kesabaran yang dijalani selama kita beraktivitas.
Kelima, Menghidupkan Rasa Syukur dalam Hati
Rasa syukur dapat membantu kita merengkuh lebih banyak getaran (pikiran dan perasaan) positif yang luar biasa. Jika kita mensyukuri sesuatu, sekecil apa pun wujudnya, sesungguhnya kita telah memancarkan perasaan dan pikiran kebahagiaan yang murni.
Bagaimanakah perasaan kita ketika kita mengucapkan terima kasih yang sangat tulus kepada orang lain? Perasaan yang kita alami saat itu adalah senang, bukan?
Kita merasa bahagia ketika mengungkapkan rasa syukur kepada orang lain dengan ucapan “terima kasih”. Sekarang, sudahkah kita merasakan kebahagiaan yang dalam ketika Allah memberikan nikmat dalam hidup ini? Sekecil apa pun nikmat tersebut, tatkala kita ungkapkan dengan rasa terima kasih, kita selalu dapat memancarkan kebahagiaan dalam kehidupan ini.
Dengan rasa senang dan bahagia yang merupakan wujud syukur kita kepada Allah, sebenarnya kita sedang mengundang terkabulnya keinginan-keinginan kita. Pada hakikatnya, keinginan-keinginan kita sudah dikabulkan, pelbagai kehendak itu sesuai dengan hati kita atau tidak.
Jika kita sudah mampu menghidupkan rasa syukur dalam hati ketika berdoa, saya yakin kita akan cukup disirami ketenangan, isyarat tercurah, dan keinginan-keinginan kita segera datang menyambut serta menemani keseharian kita. Cuma, selama ini kita belum mengerti dengan benar bagaimana caranya menghidupkan kesyukuran dalam hati.
Cara menghidupkan kesyukuran dalam hati ketika berdoa cukup sederhana. Coba kita praktikkan tiga cara praktis berikut ini: (1) Yakinlah!, (2) Rasakanlah, dan (3) Rengkuhlah!
Mari kita bahas satu per satu. Yakinlah!
Langkah awal supaya doa kita terkabul yaitu mengencangkan keyakinan kita. Keyakinan bahwa Allah pasti meluluskan segala keinginan kita.
Keyakinan itulah yang sudah sejak lama hingga saat ini senantiasa dipraktikkan oleh orang-orang sukses. Mereka terfokus pada keyakinan-keyakinan mereka. Mereka yakin bahwa setiap upaya yang mereka lakukan pastilah mengalami keberhasilan besar.
Meski ada hambatan, onak duri, dan terpaan badai saat melangkah menuju tujuan, ia tak pernah berkeluh kesah. Konsentrasinya tetap pada tujuan yang diinginkannya.
Sebaliknya, orang-orang gagal justru terfokus pada keragu-raguannya. Ia ragu keinginan-keinginannya akan terkabulkan. Konsentrasinya pada hal-hal yang menakutkan dirinya.
Akibatnya, bukan kesuksesan yang ia dapatkan, melainkan ia mendapatkan apa yang ia fokuskan, ketakutan, kekhawatiran dan sebagainya.
Ia tak pernah mendapatkan apa yang ia idam-idamkan karena ia tidak memfokuskan diri sepenuh hati pada apa yang ia cita-citakan.
Sebagai contoh, sebutlah kita memiliki sebuah komputer yang sering kali hang (tidak normal lagi) dan kita menginginkan komputer baru. Tujuan kita adalah mendapatkan komputer baru, tapi perhatian kita tercurah pada komputer lama. Anda lebih banyak berkeluh kesah terhadap komputer lama yang sering hang, sering masuk service, semakin membuat pengeluaran bertambah banyak.
Komputer baru pun tak kunjung terbeli sebab kita hanya terfokus pada kesengsaraan saat ini dan kita lupa memfokuskan pada keinginan-keinginan kita, yakni mendapatkan komputer baru.
Fokuslah pada apa yang kita inginkan. Dengan memaksimalkan hal ini, keyakinan kita akan semakin kuat. Kita bertambah yakin bahwa kita dapat mencapai keinginan-keinginan kita.
Mungkin hal ini kurang masuk akal. Terkadang, sesuatu yang kita inginkan untuk mencapainya di luar nalar manusia. Kekuatan adikodrati sering menghampiri diri kita melalui bantuan yang tak terduga (min haitsu la yahtasib).
Saya berikan sebuah contoh lagi. Ketika kita menekuni hal-hal yang kita inginkan terjadi dalam hidup kita, otak kita akan bekerja keras mencari jalan keluar untuk mewujudkannya.
Misalnya, kita ingin membangun usaha toko alat-alat dapur. Kita meyakini sekali toko kita ini bisa mendatangkan banyak keuntungan. Kita pun mulai terfokus pada keuntungan dan upaya membangun usaha toko tersebut. Mau tak mau, kita berpikir cara untuk memperoleh modal, pelanggan, memasarkannya, dan lain-lain.
Kita benar-benar fokus pada keinginan tersebut. Insya Allah, jika kita bersungguh-sungguh, pastilah jalan keluar menjadi terbuka lebar. Kita dapat mewujudkan impian kita itu. Teringat sebuah peribahasa, “Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan tercapai (man jadda wajada).”
Sebaliknya, ketika kita menginginkan membangun toko alat-alat dapur, tapi pada saat bersamaan kita berpaku pada kerugian dan kekhawatiran kalah bersaing dengan toko yang sudah ada, toko tersebut sebatas keinginan. Jika kita benar-benar mendirikan toko tersebut, kekhawatiran kita membuat toko yang kita dirikan berlabuh pada muara yang sempit. Keterpautan kita dengan pikiran yang bertali dengan kerugian, ketakutan, dan seterusnya, mengalirkan arus yang sejalan dengan hal tersebut.
Tanpa berpantang kata berurai logika, saya ingin mengatakan kepada Anda, “Yakinlah keinginan-keinginan Anda akan terwujud. Cukup tingkatkan keyakinan Anda dan fokuskan pikiran dan perasaan Anda pada apa yang Anda yakini tersebut. Sederhana, bukan?”
Rasakanlah!
Setelah kita meyakini akan terkabulnya keinginan-keinginan kita, belumlah memadai untuk menuju kebahagiaan hidup. Keyakinan kita kadangkala berubah-ubah. Sama halnya dengan fluktuasi keimanan kita: turun naik (yazid wayanqush).
Keyakinan kita harus stabil. Kalaupun mengalami penurunan, sebisa mungkin berusaha mempertahankan “penurunan yang tidak drastis”. Meskipun turun tetapi tidak sampai ke titik “nol”. Hal ini wajar. Sebagai manusia biasa, kita kerap mengalami keyakinan yang naik dan turun.
Oleh karena itu, kita butuh cara yang tepat untuk menstabilkan keyakinan kita. Keyakinan yang stabil itulah yang akan membawa kita pada pencapaian semua keinginan kita dalam doa. Bagaimanakah caranya?
Rasakanlah apa yang kita inginkan sudah diperkenankan Allah. Kita seolah-olah melihat, mendengar, dan merasakan bahwa doa-doa kita makbul, lantas kita bersyukur. Seperti halnya kita membeli sebuah barang yang sudah kita bayarkan di muka. Antara kita dan penjual tentu sangat berbahagia.
Sederhana bukan? Cara inilah yang sering kali orang menyebutnya afirmasi diri, yakni membayangkan sesuatu yang belum terjadi, ternyata sudah benar-benar ada dalam kehidupan kita.
Kesinambungan kita melakukan cara ini membuat kebahagiaan kita kian bertambah.
Kita berbahagia dengan merasakan bahwa keinginan kita sudah terwujud dan rasa syukur kita sampaikan berlipat-lipat.
Cobalah! Ketika akan berdoa, setelah menguatkan keyakinan kita bahwa doa kita akan terkabul, langkah selanjutnya adalah memanjatkan keinginan-keinginan kita dengan mantap.
Jangan ragu. Arahkan pikiran dan perasaan kita pada keinginan-keinginan kita. Sekali lagi ucapkan dengan mantap di dalam relung hati kita. Jangan ada rasa putus asa atau kecewa sesuai dengan pesan Qurani (“la tai’asu min rahmatillah”). Jangan lupa untuk menggunakan kalimat yang mengandung makna positif disertai keyakinan.
Setelah kita menegaskan permintaan-permintaan kita, hadirkan rasa syukur dalam hati kita. Lakukan afirmasi ke dalam hati dan pikiran kita. Rasakanlah keinginan-keinginan kita sudah hadir dalam kehidupan kita. Lalu, bersyukurlah.
Apa yang Anda rasakan? Senang, tenang, dan bahagia, bukan? Hidup Anda tidak ada beban sedikit pun meskipun permasalahan Anda banyak. Anda tetap optimis bahwa Allah memudahkan perjalanan hidup Anda.
Rengkuhlah!
Supaya afirmasi kita lebih kuat dan membekas dalam perasaan dan pikiran kita, kita perlu merengkuh afirmasi itu. Maksudnya, kita perlu mengungkapkannya dengan lisan atau ucapan. Untuk itu, kita butuh mengungkapkannya dengan kata-kata.
Sebagian orang memilih untuk berteriak sambil membayangkan keinginan-keinginan mereka tercapai, tapi saya tidak akan menyarankan Anda melakukan itu, karena menyita tenaga dan membuang-buang waktu saja. Kurang ada manfaatnya.
Kita cukup mengatakan ungkapan yang kuat membekas dalam diri kita seperti ini:
- “Saya bersyukur bisa memperoleh rezeki hari ini.”
- “Saya bersyukur bisa memperoleh uang yang banyak dan hidup yang serba berkecukupan.”
- “Saya senang sekali mendapatkan kemudahan dari Allah dalam kehidupan keseharian saya.”
- “Saya sangat bersyukur dan senang memperoleh istri yang berakhlak mulia dan salehah.”
- “Saya sangat bersyukur telah membahagiakan orang tua dan saudara-saudara saya.”
- “Saya sangat bersyukur dan gembira dapat memanjatkan permintaan-permintaan saya kepada Allah.”
Ucapkanlah dengan suara yang tegas dan mantap, tapi jangan terlalu keras. Cukuplah kita yang mendengarnya. Ucapkan ungkapan-ungkapan itu seusai kita berdoa. Tanamkan ungkapan-ungkapan itu hingga benar-benar menjiwai kehidupan kita.
Insya Allah, setelah mengungkapkannya, kita akan merasa lebih damai, tenang, bahagia, dan tidak ada keluh kesah. Kita menjadi optimis menjalani hidup.
Meskipun kita sudah memasukkan afirmasi pada diri, kadang kita juga masih mudah tergoyahkan. Keyakinan-keyakinan kita masih saja bergelombang.
Dalam kondisi tertentu, keyakinan diri bisa menurun drastis sampai ke titik nol. Bisa saja kita putus asa: (“Kok, saya sudah berusaha mati-matian mengukir kata-kata penuh keyakinan dalam hati, tapi tak juga berubah.”) Begitulah kehidupan, terkadang yang kita harapkan belum tentu tercapai. Kewajiban kita hanyalah berusaha dan menguatkan doa, seperti yang sudah saya sampaikan di poin sebelumnya.
Oleh karena itu, kita membutuhkan pendekatan intim kepada Allah. Kita butuh upaya maksimal, sehingga ungkapan-ungkapan afirmasi kita melekat dengan kuat dalam hidup.
Ungkapan-ungkapan afirmasi itu perlu kita ikutkan dengan aktivitas membaca Al-Qur’an.
Mengapa? Al-Qur’an dapat merespons keinginan-keinginan kita (mengenai cara Al-Qur’an merespons keinginan-keinginan kita akan saya paparkan di bab selanjutnya).
Keenam, Gunakan Energi Sabar untuk Bangkit dari Kegagalan
Jika Anda bertanya kepada saya tentang sikap apa yang harus dimiliki oleh setiap insan, saya lebih menyarankan Anda supaya menanamkan sifat sabar dalam diri.
Tumbuh berkembangnya kesabaran dalam diri inilah yang sebenarnya dapat menumbuhkan benih-benih ketenangan batin. Kesabaran mampu “melejitkan” kesadaran diri kita untuk bersyukur atas pemberian-pemberian dari Yang Mahakuasa.
Sering kali, betapa mudahnya kita memberikan nasihat kepada orang lain untuk bersabar. Padahal, kita sendiri belum tentu mampu mempertahankan kesabaran ketika ditimpa musibah. Memang, betapa mudahnya menganjurkan kata-kata kesabaran kepada orang lain dan betapa sukarnya melatih diri kita untuk bersabar. Fenomena seperti ini adalah hal yang wajar.
Orang-orang yang sabar biasanya tidak gentar menghadapi kegagalan. Kegagalan bagi mereka adalah salah satu ujian yang mesti dihadapi. Kegagalan adalah titik balik bagi diri kita menuju puncak-puncak kejayaan.
Sejujurnya, kita tidak menginginkan kegagalan terus terjadi. Kita menginginkan hidup ini terus mengalami sukses, bahagia, senang, dan seterusnya. Namun, kita hidup di alam realitas yang tidak utopis. Ada tawa, ada sedih; ada senang, ada susah; ada kesuksesan, ada kegagalan.
Hidup yang kita jalani ini berputar dari satu titik menuju titik yang lain. Kadang kita berada di titik terbawah, kadang juga kita mencapai titik puncak, laksana sebuah roda yang terus-menerus berputar tak ada hentinya.
Dengan membiasakan bersabar, lalu—dengan kesabaran itu—kita bangkit membenahi diri menuju tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan kita, persis di situlah letak kesuksesan kita. Kita mampu menaklukkan rasa sedih karena gagal, lalu kita bangkit kembali mengejar impian-impian kita. Dengan demikian, kita telah menggunakan energi kesabaran sebagai titik balik menuju tujuan kita, yaitu kejayaan di dunia dan akhirat.
Ketujuh, Shalatlah dengan Syukur dan Sabar
Sudah banyak orang yang membuktikan betapa kuatnya pengaruh shalat dalam perjalanan hidup mereka. Shalat menjadi salah satu tempat mencurahkan segala isi hati kepada Sang Maha Mendengar.
Shalat pun menjadi “kunci” meraih kesuksesan dan kebahagiaan hidup. Apalagi, shalat yang diikuti oleh rasa syukur dan sabar. Sifat shalat seperti itulah yang menjadikan kita sebagai “magnet” kebaikan. Kita menjadi orang yang baik, pemurah, pemaaf, dan seterusnya.
Saya ingin membagikan sebuah pengalaman manis terkait dengan pembahasan bagian ini. Sebelum menjabarkan bagian ini, saya menyempatkan waktu untuk menjelajahi dunia maya (internet). Saya memang senang sekali mencari tema-tema yang terkait dengan keislaman melalui jejaring dunia. Setidaknya, saya bisa mengetahui perkembangan kehidupan umat Islam di belahan dunia mana pun.
Saya juga sering kali menuliskan bio (website pribadi) sebagai sarana untuk saling berbagi, saling menasihati, dan tentunya untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran kehidupan yang sudah tertuang dalam Al-Qur’an.
Saya mulai membuka situs-situs dan saya klik sebuah situs menarik. Alamat situsnya yaitu http://www.islamdotnet.com. Dalam situs itu, saya temukan sebuah kisah nyata seorang hamba Allah yang memberanikan diri keluar dari pekerjaannya hanya untuk mencari keridaan Allah. Ia kehilangan mata pencaharian.
Mengapa ia keluar dari pekerjaannya? Apa yang terjadi dengan dirinya setelah meninggalkan pekerjaannya itu? Bagaimana dengan anak dan istrinya? Bagaimana dengan kehidupannya?
Saya memberikan kisah ini untuk membuka cakrawala berpikir kita. Bukan itu saja, saya juga bermaksud mempertajam kesyukuran dan kesabaran kita. Mari kita simak bersama!
Hampir setiap waktu shalat berjamaah di Masjid Miftahusallam, saya menemukan sesosok pria bertubuh tinggi dan besar berada di tengah-tengah jamaah yang hadir. Pria setengah baya itu selalu tampak khusyuk dalam shalatnya. Sampai hari ini, saya belum berkesempatan untuk berbicara langsung dengannya karena ia selalu melanjutkan aktivitas berzikir dan tafakur dengan khusyuk, sehingga saya khawatir mengganggu tafakurnya tersebut.
Sekian waktu berlalu, selama itu pula saya hampir selalu bertemu dengannya di masjid tersebut dengan kondisi seperti saat pertama kali dirasakan. Rasa penasaran inilah yang kemudian mendorong saya bertanya kepada Pak Ustaz.
“Bapak itu siapa ya?” tanya saya sambil menyebutkan ciri-ciri jamaah tetap masjid tersebut, yakni membawa motor Honda dan hampir selalu membawa putranya ketika salat berjamaah di masjid.
“Oh, itu Mas Gimin,” jawab Pak Ustaz.
“Siapa dia, Pak?” tanya saya lagi.
Pak Ustaz kemudian bercerita tentang awal perkenalannya dengan Mas Gimin yang terjadi pada sekitar 1999 lalu.
“Ia dulu adalah juru masak di restoran depan itu,” kata Pak Ustaz sambil menunjuk sebuah rumah makan yang terletak di depan masjid kami. Restoran itu dulu dikenal sangat ramai pada malam hari karena menyediakan berbagai fasilitas kehidupan malam bagi para pengunjungnya.
Masyarakat sekitar yang “gerah” dengan aktivitas rumah makan yang sudah beralih fungsi tersebut kemudian mendatangi Pak Ustaz untuk meminta pendapat tentang upaya menghentikan kegiatan restoran yang sudah dianggap keterlaluan. Beberapa orang pemuda desa setempat kemudian mendatangi Pak Ustaz. Mereka meminta izin dan pendapat kepada Pak Ustaz untuk menyerbu restoran itu.
“Jangan dulu, nanti coba saya minta pendapat pada Pak Kyai,” kata Pak Ustaz.
Atas nasihat dari Pak Kyai, guru Pak Ustaz yang disegani, Pak Ustaz kemudian melakukan pendekatan kepada pemilik restoran dan para pegawainya sebagai upaya mengingatkan dan menyadarkan mereka, bukan dengan cara kekerasan yang diusulkan para pemuda tadi.
Usaha inilah yang kemudian mempertemukan Pak Ustaz dengan Mas Gimin, seorang juru masak paling senior di rumah makan tersebut yang menjadi andalan sang pemilik rumah makan untuk menjamu para tamunya dengan masakan yang lezat.
Setelah beberapa kali pertemuan terjadi dengan Pak Ustaz, ada beberapa orang karyawan rumah makan tersebut yang menyadari bahwa di tempatnya bekerja terdapat benih-benih kemaksiatan dan dosa, termasuk salah satu di antaranya adalah Mas Gimin.
“Pak Ustaz, saya menyadari bahwa tempat ini kurang berkah, tapi bagaimana ya Pak, saya tidak punya usaha lain untuk menghidupi anak dan istri saya. Kalau saya keluar dari rumah makan tersebut, bagaimana saya menafkahi anak dan istri saya?” kata Mas Gimin menyatakan rasa gundahnya kepada Pak Ustaz.
“Mas Gimin percaya bahwa rezeki Allah yang mengatur?” tanya Pak Ustaz memaklumi keberatan Mas Gimin.
“Saya percaya, Pak,” jawab Mas Gimin.
“Mas, saya pun tidak tahu usaha apa yang harus Mas Gimin kerjakan seandainya Mas Gimin keluar dari rumah makan itu. Tetapi, kalau kita yakin bahwa Allah akan memberikan jalan keluar kepada orang-orang yang ikhlas berhijrah meninggalkan kemungkaran, insya Allah, Dia akan memberi jalan keluar kepada Mas Gimin. Yang terpenting, sekarang Mas keluar dulu dari lingkungan yang berbau maksiat tersebut dengan niat lillahi Ta’ala,” papar Pak Ustaz.
Selanjutnya, setelah beberapa waktu berlalu, Mas Gimin diberikan kekuatan oleh Allah untuk keluar dari rumah makan yang selama ini menjadi sandaran penghasilan untuk menafkahi keluarganya, meskipun pemilik rumah makan tersebut mengiming-imingi Mas Gimin dengan kenaikan gaji yang lebih besar dan menggiurkan.
Setelah keluar dari rumah makan tersebut, Mas Gimin hanya mengandalkan sedikit tabungannya untuk menafkahi keluarganya. Ia tidak langsung menemukan usaha apa yang harus dikerjakan untuk menutupi kebutuhan dapurnya. Akhirnya, Mas Gimin memutuskan untuk membuat gerobak dorong dan dengan bekal keahliannya memasak selama ia bekerja di rumah makan, ia berjualan nasi goreng di pinggiran jalan.
Usaha jualan nasi goreng yang dirintis Mas Gimin tidak langsung laku. Beberapa lama ia mendapat ujian dari Allah meskipun niatnya tulus untuk keluar dari lingkaran kemungkaran. Selama itu pula Mas Gimin selalu menyempatkan diri salat berjamaah di masjid sambil terus meminta pendapat dan saran dari Pak Ustaz, hingga akhirnya saya bertemu beliau di masjid itu.
Setelah sekian lama berjualan nasi goreng di pinggir jalan, nasi goreng Mas Gimin mulai dikenal. Singkat cerita, usahanya berkembang. Dagangannya laku keras. Mas Gimin kemudian membuka warung untuk dagangannya."
Janji Allah kemudian mulai tampak bagi mereka yang benar-benar sabar dan istiqamah dalam berjuang di jalannya, sesuai dengan pesan Qur’ani (walladzīna jāhadū fīnā lanahdiyannahum subulanā). Warung itu pun berkembang dan sekarang sudah mempunyai cabang di tempat lain.
Mas Gimin tidak lagi berjualan di pinggir jalan dengan gerobak dorongnya. Ia sekarang sudah memiliki warung dengan beberapa orang pegawai yang bekerja di sana. Penghasilannya pun sekarang bertambah.
Nafkah keluarga yang dulu menjadi salah satu alasan keberatan Mas Gimin untuk keluar dari rumah makan tersebut mulai tertutupi dengan penghasilannya sekarang, bahkan mungkin jauh lebih besar daripada penghasilannya ketika ia bekerja sebagai juru masak di rumah makan dulu.
Demikianlah kisah nyata Mas Gimin yang sabar menjalani kehidupan ini. Bagaimana dengan keadaan kita sekarang ini? Kuatkah kita menahan berbagai cobaan dari Allah? Sudah sabarkah kita?
Saya berpikir, hanya diri kitalah yang bisa jujur menjawabnya. Saya tidak akan berbicara lebih jauh menguraikan bagian ini. Kisah nyata di atas sudah cukup menjadi renungan hikmah terdalam bagi kehidupan kita.
Pelajaran bahwa dalam hidup membutuhkan kesabaran dan kesyukuran. Jangan lupa, tetaplah shalat kepada-Nya sebagai wujud pendekatan diri kita kepada Allah, seperti yang telah dicontohkan oleh Mas Gimin.
Pada bab selanjutnya, saya akan memaparkan cara-cara menggunakan Al-Qur’an untuk merespons keinginan-keinginan kita. Bukan itu saja, untuk Anda yang sedang mengalami musibah atau problematika hidup, akan saya tunjukkan cara penyelesaiannya dengan memanfaatkan mutiara-mutiara Al-Qur’an.
4. AL-QUR’AN PENJAWAB SEGALA KEINGINAN
Beberapa waktu lalu, saya sangat senang menemukan sebuah fakta bahwa Al-Qur’an mampu memberikan jawaban atas keinginan-keinginan kita. Fakta ini saya dapatkan ketika sedang berdialog dengan seorang ibu rumah tangga melalui chatting. Saya bahagia sekali menemukan fakta tersebut.
Hal yang lebih menyenangkan bagi saya adalah ternyata ibu tersebut mau berbagi dan mengirimkan kisahnya ini kepada saya. Ceritanya begitu memukau dan semakin menguatkan kita untuk tidak menyia-nyiakan kekuatan Al-Qur’an. Mari kita baca suratnya berikut ini.
Tidak ada tanda-tanda bahwa Laras akan sakit. Meskipun hari Senin itu saya telah membuat janji ke dokter spesialis anaknya. Itu pun sebetulnya bukan karena ia muntah-muntah, melainkan karena gatal-gatal di kulitnya yang tak kunjung sembuh. Hanya, siangnya ia menjadi rewel dan muntah-muntah.
Setelah Laras muntah untuk kedua kalinya, badannya mulai terasa hangat. Untunglah, tidak lama kemudian, tiba saatnya untuk bersiap-siap pergi ke dokter.
Menurut suster, dokter akan datang pukul 17.00, tapi sekitar pukul 16.30 kami sudah sampai di tempat praktik dengan harapan siapa tahu dokternya datang lebih cepat. Ternyata benar! Ketika kami tiba, dokter yang akan memeriksa Laras baru saja keluar dari mobil. Ah, senangnya. Apalagi Laras dapat giliran kedua, berarti kami tidak perlu menunggu terlalu lama. Ternyata, pasien nomor pertama belum datang sehingga Laras mendapat giliran pertama.
Seperti biasa, dokter menyambut dengan ramah, “Ada apa, Mbak Laras?” Saya ceritakan peristiwa kronologinya bahwa sebetulnya Laras datang untuk penyakit gatal di kulitnya yang tidak sembuh-sembuh. Kami baru pulang dari Anyer, tempat ia bermain tanpa henti bersama sepupu-sepupunya. Malam dan paginya ia masih ceria, tetapi sekarang Laras muntah-muntah dan sulit buang air.
Dokter tersenyum dan mulai memeriksa. Kemudian, ia mengecek kulit Laras yang dipenuhi luka-luka bekas garukan. Dokter mengatakan bahwa kemungkinan Laras terlalu capai setelah sibuk bermain di Anyer kemarin, tapi belum sampai membahayakan.
Sebaiknya, perbanyak minum dan makan buah-buahan serta sayuran. Karena waktu itu Laras tidak panas, obat yang diberikan dokter hanya obat antimual, obat untuk melancarkan buang air—kalau masih susah—, dan obat untuk gatal-gatalnya. Legalah saya karena Laras tidak menderita sakit berat.
Pada malam hari, Laras mulai bisa makan dengan bantuan obat antimual. Kendati obat yang masuk hanya sedikit, setidaknya ia sudah tidak muntah seperti terjadi siang hari. Laras juga diberi lebih banyak minuman agar tidak mengalami dehidrasi. Karena ia tidak menginginkan susu, untuk sementara susu tidak diminum.
Badannya memang masih terasa hangat, tapi setelah dicek, temperatur badannya masih dalam ambang normal. Di bawah pengaruh obat, Laras mulai mengantuk sehingga kami langsung menyiapkannya untuk tidur.
Selasa pagi, ketika ayahnya pergi ke kantor, badan Laras masih agak hangat. Obat mualnya diminum. Laras mau sarapan meskipun sedikit. Walaupun terlihat agak lemas dan tidak seceria biasanya, mulutnya tetap masih jahil. Dia bertanya,
“Mama, Iwan mana?”
Ibunya menjawab, “Papa, Iwan sayang. Jangan hanya Iwan. Papa sedang ke kantor.”
“Oooh…,” katanya.
Sejenak kemudian ia bertanya lagi,
“Mama, Nanul mana?”
Jawab ibunya, “Namanya Mbak Yani sayang, bukan Nanul. Mbak Yani sedang di dapur.”
“Onoh…” katanya lagi.
Selesai sarapan, ia meminum obat antigatal, kemudian Laras pun tidur. Saya menemaninya tidur. Ah, pipi gembilnya memerah. Saya cek temperaturnya. Tiga puluh sembilan derajat Celsius. Ah, tentu saja saya kaget. Meski ia sedang tidur, saya bangunkan untuk diberi obat penurun panas. Ia protes. Tapi, tak lama, ia langsung tidur lagi.
Saya menelepon kakak untuk minta pendapat apakah Laras harus dikompres atau bagaimana. Kesimpulannya, biarkan saja ia tidur, tapi sesaat setelah bangun baru mulai dikompres dengan air hangat.
Telepon ditutup. Saya pandangi gadis kecil yang sedang terlelap itu. Saya menciumnya dan saya bisikkan dengan lirih bahwa saya sangat mencintainya. Semoga ia cepat sembuh. Tanpa terasa air mata mulai mengalir. Ya, saya sedih dan takut tatkala Laras sakit. Laras jarang sekali sakit, tapi sekali sakit biasanya langsung panas tinggi.
Saya ingat ketika ia bayi, ia juga pernah sakit hingga harus diopname di rumah sakit karena panasnya mencapai 40 derajat Celsius. Apalagi, waktu itu ayahnya sedang menuntut ilmu di luar negeri sehingga rasa sedih, takut, panik, dan bingung dalam hati bercampur menjadi satu tanpa bisa dikeluarkan. Sekarang, ayahnya sudah pulang dari luar negeri. Saya kirim SMS, meminta tolong ia pulang jika tidak sibuk. Saya katakan suhu badan Laras bertambah panas. Lalu, saya teringat pesan guru mengaji saya: daripada panik tidak keruan, bicaralah dengan Allah. Bacalah Al-Qur’an.
Saya memohon agar diberi ketenangan hati, kemudian saya membuka Al-Qur’an dan saya baca satu halaman. Memang betul, rasanya hati menjadi lebih tenang. Saya mencari arti dari ayat-ayat yang saya baca. Ternyata, ayat-ayat yang saya baca adalah surah An-Nahl ayat 94-102. Pada ayat 96, kata-katanya sungguh masuk ke sanubari saya. Terjemahan ayat tersebut adalah:
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Tak terasa, air mata saya mengalir lebih deras. Saya diingatkan bahwa anak adalah titipan, “Apa yang ada di sisimu akan lenyap.” Ya, saya harus lebih tabah dan kuat.
Merasa sedih tentu normal, tapi sebaiknya janganlah terlalu panik. Bersyukurlah telah dipercaya untuk mendidik anak dan berusahalah sembari berdoa agar anak kita bisa sembuh.
Ketika suami saya menelepon, saya sudah cukup tenang untuk berkata bahwa saat ini panasnya sudah menurun (memang panasnya beneran turun). Jadi, saya ungkapkan, kalau ia sibuk tidak perlu pulang cepat. Tapi, suami saya memutuskan untuk pulang saat istirahat makan siang.
Mungkin karena saya sedang hamil sehingga menjadi lebih perasa. Mungkin juga saya hanya lega karena sekarang saya tidak sendirian lagi. Yang pasti, saya merasa lebih tenang saat ayahnya Laras datang. Laras pun terlihat senang karena bisa bermain dengan papanya dari siang hari.
Pada sore hari, panasnya naik lagi. Saya kembali memberikan obat penurun panas. Kemudian, badannya dibalur dengan campuran bawang dan minyak kayu putih. Tak lama setelah itu, Laras terus-menerus buang angin dan panasnya turun meski tetap hangat. Makannya menjadi lebih sedikit sehingga kami memperbanyak asupan minumnya. Karena pengaruh obat-obatan,
Laras tidur lebih cepat. Suhu tubuhnya konstan. Belum menurun sepenuhnya, tapi juga tidak naik signifikan.
Alhamdulillah, hari Rabu pagi suhu badannya sudah mendekati normal. Perutnya juga sudah membaik, karena, meski tidak diberi obat muntah, sarapannya tidak dimuntahkan lagi. Nafsu makannya masih belum pulih. Laras masih sedikit lesu, tapi ia tetap jahil. Apalagi ketika Aki dan Nininya datang menjenguk dan ia melihat hadiah yang dibawa Nininya berupa dua buku cerita Dora the Explorer! Matanya langsung membulat dan ia berseru kepada Nininya, “Ceritakan, ceritakan!”
Berulang-ulang ia meminta Nini membaca cerita Dora. Kali ini, ayahnya tidak perlu pulang cepat. Sekarang, kondisi Laras makin membaik. Mudah-mudahan satu dua hari lagi ia sudah benar-benar sembuh.
Begitulah penuturan Sitaresmi Sidharta, seorang ibu rumah tangga yang ketika datang kesedihan, justru memilih mendekat pada Kitab Mulia. Dengan membaca Al-Qur’an, kesedihan itu seolah-olah terobati. Ada pelipur lara di dalamnya. Al-Qur’an telah memberikan keinginan-keinginannya supaya bersabar. Allah akan memberikan balasan atas kesabarannya. Anaknya sembuh kembali, buah kesabaran dalam berusaha.
Hal yang lebih penting dari itu adalah hatinya tetap tenang dan bertambah yakin bahwa Allah akan memberikan jalan yang terbaik bagi kehidupannya. Asalkan dijalani dengan penuh kesabaran, rahmat Allah pasti menghampiri, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl di atas tadi.
Pengalaman teman saya di atas cukup memberikan “getaran” bagi hati saya, bahwa saya semestinya selalu mengembalikan segala problematika kehidupan ini pada nilai-nilai Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah buku panduan kehidupan yang sempurna, lengkap, dan tak ada yang diragukan di dalamnya. Jika kita mau merujuk ke dalam Al-Qur’an, kita akan tercengang ternyata Al-Quran memberikan banyak solusi dalam menghadapi segala problematika kehidupan ini.
Menawarkan Solusi Problem Hidup
Sejak diwahyukan, Al-Qur’an mengutarakan berbagai penyelesaian problematika dalam kehidupan ini. Banyak surah di dalamnya yang memberikan panduan menjalani kehidupan ini. Bahkan, setiap surah dalam Al-Qur’an memiliki karakter tersendiri dan unik. Setiap surah dalam Al-Qur’an memiliki keistimewaan tersendiri. Hal ini menjadi penyebab bahwa Al-Qur’an mampu memberikan jawaban atas permasalahan dalam kehidupan kita.
Terkait dengan persoalan di atas, Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an menegaskan bahwa orang-orang yang hidup di bawah naungan Al-Qur’an dapat merasakan dan menemukan setiap surah yang memiliki karakter tersendiri, unik, memiliki ciri-ciri khas, metode dan gaya bahasa tertentu, serta memberi solusi terhadap suatu masalah.
Oleh sebab itu, orang-orang yang senantiasa mengembalikan persoalannya kepada pesan-pesan Al-Qur’an akan mendapatkan jawaban yang tepat. Al-Qur’an ditujukan untuk mendampingi bahtera manusia dalam mengarungi samudra kehidupan di dunia ini. Namun, sungguh disayangkan, sebagian di antara kita lebih memilih buku-buku ramalan, primbon, tarot, dan sejenisnya untuk mencari jawaban permasalahan hidup kita.
Kita melupakan bahwa Al-Qur’an jauh lebih hebat daripada kitab atau buku ramalan. Fenomena seperti itulah yang cukup memprihatinkan. Bagaimana kita bisa memperoleh solusi yang tepat menjawab problematika kehidupan ini jika kita tak mau berpegang teguh pada Al-Qur’an?
Rasulullah saw. meyakinkan kepada kita bahwa Al-Qur’an dan hadis adalah peninggalan beliau yang sempurna. Tidak perlu diragukan lagi kebenarannya. Beliau meninggalkan dua warisan yang seharusnya menjadi panduan kita untuk melangkah. Dengan mengamalkan ajaran dalam Al-Qur’an dan sunah, kita tidak akan tersesat selamanya.
Ali bin Abi Thalib pernah mengungkapkan bahwa Al-Qur’an tidak pernah lapuk karena sering diulang-ulang. Keajaiban-keajaibannya tidak akan pernah habis. Siapa saja yang berbicara berdasarkan Al-Qur’an maka ia benar, yang mengamalkannya maka ia memperoleh pahala, dan siapa saja yang mengajak manusia kepada Al-Qur’an maka ia diberi petunjuk menuju jalan yang lurus (shiratal-mustaqim).
Kita yang hidup di zaman ini sangat membutuhkan Al-Qur’an. Oleh karena itu, kita perlu memahami kemauan Al-Qur’an. Kita harus mendekatinya. Tidak cukup itu saja, kita pun harus bersikukuh bagaimana mendayagunakannya supaya mampu berinteraksi dengan diri kita. Kita harus mengerti benar tata cara menggunakan Al-Qur’an supaya manfaat dan syafaatnya benar-benar menyatu dalam kehidupan kita. Bagian ini akan memberikan panduan kepada Anda bagaimana mendayagunakan Al-Qur’an sebagai sumber kebahagiaan dalam hidup.
“… Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman” (Q.S. Yunus [10]: 57).
Kita akan menyaksikan betapa hebatnya Al-Qur’an merespons dan memberikan jawaban bagi permasalahan hidup kita. Kita akan terpana merasakan betapa kuatnya Al-Qur’an memberikan anjuran-anjuran untuk mencapai kebahagiaan hidup. Anda, yang menyadari hal ini, pasti tidak mau menyia-nyiakan perkataan Al-Qur’an. Kita akan banyak mendapati bahwa Al-Qur’an selalu menuntun kita menjadi manusia hebat, berpikir positif, berprasangka baik, dan menuju pada cahaya yang terang benderang. Seperti yang tercantum dalam Surah Al-Maidah ayat 15-16.
“Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula) yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menjelaskan. Dengan Kitab itu, Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus.”
Rasulullah saw. menjadi teladan yang paripurna (uswatun hasanah). Beliau seorang pemimpin dan negarawan yang memahami politik dan pertempuran. Beliau juga seorang kepala rumah tangga, dan masih banyak lagi peran yang beliau jalankan dalam kehidupan. Apakah beliau tertekan dengan amanah ini? Apakah beliau merasa kesulitan menghadapi banyak masalah?
Jawabannya tidak.
Justru, Rasulullah saw. merasa tertantang. Beliau melakukan semua amanah dengan rasa bahagia. Tiada beban sekecil apa pun yang dirasakannya. Beliau meyakini pertolongan Allah pasti datang. Petunjuk-petunjuk seperti itulah yang tertuang dalam Al-Qur’an.
Logikanya, kalau Rasulullah saja menyelesaikan permasalahannya dengan merujuk Al-Qur’an, mengapa kita—yang masalahnya tidak seberat Rasulullah—tidak mau merujuk ke sumber paling hebat tersebut? Jadi, ketika kita diterpa musibah yang dahsyat, ambillah Al-Qur’an, bacalah, pahami, lalu temukan solusi di dalamnya. Alasan apa untuk menolak hidayah-Nya? Nikmat Tuhan mana yang kita dustakan?
Lalu, bagaimana cara menemukan solusi-solusi atas permasalahan kita di dalam Al-Qur’an? Tenang. Saya akan memberikan beberapa tips menarik yang dapat Anda praktikkan.
Tipsnya sederhana, tetapi memberikan efek yang dahsyat dalam diri Anda. Lebih mengejutkan lagi, ternyata cara-cara yang saya berikan sudah dibuktikan oleh beberapa orang teman saya maupun guru-guru mengaji saya.
Mari kita mulai! Cukup tiga tahapan yang Anda perlu lakukan; (1) bukalah Al-Qur’an secara random, (2) lihat dan bacalah, dan (3) renungkanlah dalam-dalam.
Pertama, Bukalah Al-Qur’an secara Random (Acak)
Anda masih ingat dengan kisah Ibu Sitaresmi Sidharta di bagian awal bab ini? Ia membaca satu halaman Al-Qur’an, kemudian ia mencari artinya. Ternyata arti ayat-ayat yang ia baca memberikan solusi atas kegundahan hatinya.
Kita dapat mempraktikkan cara seperti ini. Ketika kita diterpa permasalahan yang pelik dan rasanya sangat berat mencari penyelesaian akhir, cobalah membuka Al-Qur’an secara random atau acak. Sebelum kita membuka Al-Qur’an, berdoalah terlebih dahulu dan luruskan niat. Kita dapat berdoa seperti ini: “Ya Allah, sampai saat ini saya belum menemui jalan keluar permasalahan saya ini. Saya memohon dengan penuh harap kepada-Mu untuk memberikan jalan yang terbaik.”
Setelah kita menjernihkan pikiran kita dengan doa tersebut, duduklah dengan tenang. Kira-kira tiga sampai lima menit, cobalah tenangkan pikiran. Kalau kita masih merasa belum tenang, cobalah berwudu. Rasakan sejuknya aliran air wudu yang mengalir ke ubun-ubun kita. Kalau tak juga merasa tenang, alangkah baiknya kita salat sunah. Cukup dua rakaat. Salat sunah setelah mengambil air wudu sangat dianjurkan.
Setelah salat, berdoalah dengan penuh syukur. Praktikkan cara berdoa yang sudah saya paparkan di bab sebelumnya.
Setelah berdoa, ambillah Al-Qur’an, lalu bukalah, terserah halaman berapa saja. Lalu, bacalah.
Dengan membuka Al-Qur’an secara acak atau random, sebenarnya kita sedang memasrahkan semua permasalahan kita kepada Allah (tawakkal billah). Kita yakin bahwa Allah akan memberikan jawaban-Nya melalui Al-Qur’an. Pikiran dan perasaan kita terfokus pada penyelesaian permasalahan. Perasaan dan pikiran positif kita segera terbentuk setelah kita yakin. Begitulah kira-kira, keyakinan yang ada dalam diri kita ketika memasrahkan segala permasalahan kepada Allah SWT.
Ketika kita membuka Al-Qur’an, keyakinan yang kita pupuk mulai membaik. Kita mulai meyakini bahwa Allah akan memberikan jalan terbaik. Haqqul yaqin. Apabila kita belum menemukan jawaban atas permasalahan ini, jangan berputus asa. Yang kita butuhkan adalah tetap berpikir positif (husnuzhan). Mungkin, Allah masih menguji kesabaran dan keseriusan kita.
Bukalah kembali Al-Qur’an. Selami maknanya. Cerna maksudnya. Resapi intisarinya. Untuk merasakan hal ini, simak langkah berikutnya. Dengan beberapa kali kita membuka Al-Qur’an, insya Allah, kita akan menemukan jawabannya.
Kedua, Lihat dan Bacalah
Setelah kita membuka Al-Qur’an secara acak, bacalah ayat tersebut perlahan-lahan. Bacalah beberapa ayat berulang-ulang sampai kita merasa nyaman. Lantunkan ayat-ayat tersebut dengan suara merdu.
Sengaja saya menganjurkan Anda untuk melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan suara merdu agar Anda merasa tenang dan nyaman. Alunan-alunan bacaan Al-Qur’an dapat menyejukkan hati kita. Bahkan, bacaan-bacaan Al-Qur’an memiliki unsur musikal yang dapat melembutkan dan mencerdaskan hati kita (mengenai hal ini kita dapat membaca buku saya, Smart Heart).
Bacalah perlahan-lahan dan nikmatilah. Misalnya, kita menetapkan lima ayat saja. Bacalah lima ayat tersebut berulang-ulang. Ya, bacalah berulang-ulang dan nikmatilah.
Setelah kita merasa nyaman, cobalah kita simak arti dari ayat Al-Qur’an tersebut. Lihatlah artinya. Bacalah artinya berulang-ulang sampai kita benar-benar memahaminya.
Setelah kita memahaminya, baca kembali ayat tersebut dengan suara keras sambil membayangkan maknanya. Bacalah berulang-ulang. Dengan cara seperti ini, kita sedang melakukan afirmasi dan mengirimkan getaran-getaran positif dalam kehidupan kita (sesuai dengan Hukum Ketertarikan).
Bagi yang sudah melakukan tahapan kedua ini, saya yakin kita mulai merasa tenang. Perasaan kita mulai membaik. Emosi kita pun mulai stabil. Perasaan-perasaan yang baik tersebut menyebabkan pikiran kita turut membaik. Yang tadinya kita merasa kesal, stres, lelah, dan sebagainya, lambat laun berganti menjadi tenang, bahagia, syukur, cinta, dan seterusnya.
Ini seperti penegasan Rasulullah saw dalam sebuah hadis,
“Setiap kali suatu kaum berkumpul di dalam salah satu rumah Allah untuk membaca Al-Qur’an dan saling mengajari di antara mereka, maka ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, para malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di depan makhluk yang ada di sisi-Nya.”
Benar sekali apa yang dikatakan Rasulullah saw. Keadaan seperti itulah yang sering saya rasakan ketika mengalunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ketika pikiran saya penuh dengan kelelahan karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dengan melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an, pikiran saya menjadi segar kembali. Perasaan saya tenang. Pikiran saya jernih. Hati saya sejuk. Tidur pun terasa nyenyak. Saya yakin sekali bahwa ketika saya membaca Al-Qur’an, ketenangan, rahmat, dan malaikat akan menyelimuti diri saya. Semesta ikut bertasbih.
Oleh karena itu, sekali lagi, jadikanlah kegiatan membaca Al-Qur’an sebagai rutinitas kita. Bacalah Al-Qur’an lima hingga lima belas menit saja setiap hari. Lebih lama, tentu lebih baik. Semakin lama kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan memahami artinya, berarti kita sedang mengondisikan perasaan dan pikiran kita menjadi lebih positif. Al-Qur’an adalah syifa atau obat penawar bagi hidup. Kita imani hal ini dengan sesungguhnya.
Ketiga, Renungkanlah Dalam-dalam
Ketika kita membaca Al-Qur’an, bayangkanlah kalau kita sedang berdialog dengan Al-Qur’an. Rasakanlah bahwa Al-Qur’an sedang berbicara dengan diri kita. Bacalah satu ayat, kemudian berhentilah. Rasakan kembali Al-Qur’an sedang berbicara dengan kita. Kita berdialog dengannya, dengan hati yang bersih dan ikhlas. Kita bisa merasakannya dengan syarat kita benar-benar paham dan merenungi makna ayat yang sedang kita baca.
Manakala tahapan kedua di atas sudah kita kuasai tentang cara membaca Al-Qur’an lalu memahami artinya, kemudian membacanya kembali berulang-ulang, teruslah demikian hingga kedamaian muncul sesuai dengan kondisi kita. Tahapan kedua di atas mengondisikan pikiran dan perasaan kita menjadi tenang. Nah, sekarang saatnya kita merenungkan ayat-ayat yang kita baca secara mendalam.
Berhentilah membaca sejenak. Diamlah sebentar. Pahami kembali kandungan ayat yang telah kita baca. Misalkan, ketika kita sedang dilanda problematika kehidupan, lalu tiba-tiba menemukan Surah Al-Baqarah, tepatnya ayat 153, “Wahai orang-orang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Pahamilah ayat itu sesuai dengan kemampuan kita. Rasakanlah bahwa Al-Qur’an sedang berdialog dengan kita. Ia meminta kita supaya bersabar dalam menjalani setiap permasalahan hidup yang dihadapi. Bersabarlah! Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. Allah akan memberikan rahmat dan karunia-Nya.
Kita pun diperintahkan untuk mendirikan salat. Salat akan membuat hati kita semakin tenang. Pikiran kita menjadi jernih. Dengan menjalani hal ini, niscaya kita mudah menentukan solusi terbaik untuk keluar dari permasalahan yang kita hadapi.
Sebenarnya, setiap orang mampu memutuskan atau mencari solusi terbaik dalam hidupnya. Akan tetapi, terkadang pikiran dan perasaan mereka menjadi buntu. Penyebabnya, pikiran dan perasaan mereka tidak tenang, kacau, dan terlalu dibebani banyak pikiran. Mereka tidak bisa berpikir dengan jernih. Sedikit saja memikirkan permasalahan hidup, kepala terasa berat, pusing, dan penuh tekanan.
Kalau sudah begini, secerdas apa pun kita, pasti kita tidak mungkin mendapatkan jalan keluar terbaik. Kita membutuhkan ketenangan yang dapat kita peroleh melalui shalat dan sabar.
Renungkanlah baik-baik setiap ayat Al-Qur’an yang kita baca. Selami maknanya dalam kehidupan kita sehari-hari. Arungi samudra maknanya. Insya Allah, kita segera menemukan solusi tepat atas problematika kehidupan kita.
Setelah kita merenungi ayat-ayat tersebut, pejamkan mata kita. Renggangkan seluruh otot-otot kita. Lalu, visualisasikanlah bahwa seluruh masalah kita sudah beres. Gambarkan bahwa kita sudah mendapatkan jalan terbaik. Kita juga dapat memvisualisasikan strategi atau tahapan yang akan kita tempuh esok hari. Terserah apa yang akan kita visualisasikan. Akan tetapi, lebih baik kita memvisualisasikan kebahagiaan dan kesuksesan kita. Jangan sekali-kali kita memvisualisasikan kegagalan, keterbatasan, atau segala yang dapat membelenggu diri kita dalam kerendahdirian. Karena hal itu akan menjadikan kita tambah tertekan. Visualisasikan hal-hal positif saja.
Mewujudkan Keinginan-keinginan Kita
Satu lagi rahasia besar yang perlu kita ketahui terkait Hukum Ketertarikan, yaitu pikiran dan perasaan kita. Keinginan-keinginan kita akan segera terwujud ketika kita terfokus pada keinginan-keinginan kita. Sebaliknya, keinginan-keinginan kita sulit terwujud saat kita terfokus pada hal-hal yang tidak kita inginkan. Atau, kita dapat pula terfokus pada hal-hal yang menghalangi kita untuk menggapai keinginan-keinginan kita itu. Hal yang wajar, bukan?
Kadang kala, kita mempunyai banyak keinginan, tapi untuk meraih keinginan-keinginan itu betapa susahnya. Kita tentu ingin menggapai kecukupan dalam hidup. Kita menginginkan kehidupan yang mapan, jauh dari kekurangan. Kita memerlukan ritme hidup yang tenang, bahagia, dan stabil. Jarang sekali, bahkan tidak ada satu pun manusia yang mau hidup dalam jurang kesengsaraan. Setiap manusia mempunyai imajinasi dan harapan hidup yang tenteram dan bahagia.
Masalahnya adalah, sudahkah kita mengungkapkan keinginan-keinginan tersebut ke dalam diri dan kehidupan kita? Saya khawatir, jangan-jangan keinginan-keinginan kita itu belum terpatri kuat dalam diri kita. Saya takut jika apa yang kita harapkan belum tertanam kuat.
Saya memohon maaf, sekali lagi, mungkin saja keinginan-keinginan kita hanya bersifat sesaat. Boleh jadi, detik ini kita sangat bersemangat untuk mencapai keinginan-keinginan kita, tapi pada detik yang lain kita berputus asa, tak bersemangat lagi mengejar keinginan-keinginan tersebut.
Keadaan yang limbung menjadi pertanda keinginan-keinginan kita belum tertanam kuat dalam jiwa. Sehingga, kita membutuhkan cara-cara pengungkapan yang cukup efektif untuk menyuntikkan keinginan-keinginan itu dalam diri kita. Dengan cara tersebut (saya akan tunjukkan pada Anda dalam bagian ini juga), kita semakin sadar bahwa kita mampu mewujudkan keinginan-keinginan kita. Tentunya, keinginan-keinginan yang wajar dan sesuai dengan kemampuan kita.
Pertama, Ungkapkan Saja Keinginan Kita
Bagaimana mengungkapkan keinginan-keinginan kita sehingga benar-benar terpatri dalam hidup kita? Sudah banyak keinginan kita hilang menguap entah ke mana, bukan? Sudah terlalu banyak kita membuang-buang waktu hanya untuk memikirkan keinginan-keinginan kita yang tak kunjung datang.
Kita menunggu, eh, malah yang ditunggu-tunggu tidak menampakkan wujudnya. Fenomena seperti inilah yang sering kali melanda diri kita. Hal-hal seperti ini sangat memengaruhi pikiran-pikiran kita.
Pikiran kita menunjukkan siapa sebenarnya diri kita. Mereka yang selalu berpikir tidak bisa mewujudkan keinginan-keinginan mereka maka tidak akan pernah bisa mewujudkannya. Dengan kata lain, mereka lari sebelum benar-benar berjuang mencapai semua keinginan-keinginannya. Padahal, mereka memiliki kemampuan yang memadai. Pahami bahwa pikiran menentukan pandangan hidup kita.
Cara mengungkapkan keinginan-keinginan kita cukup sederhana. Kita hanya membutuhkan waktu lima belas sampai tiga puluh menit. Tenangkan pikiran kita. Lalu, segera pikirkan apa saja keinginan-keinginan yang ingin kita capai. Kemudian, tuliskan keinginan-keinginan kita. Dengan menuliskan semua keinginan kita, sebenarnya kita sedang mengondisikan diri kita memasuki keinginan-keinginan tersebut. Tuliskan semuanya. Ya, saya sengaja menyarankan untuk menuliskan segala keinginan Anda. Catatlah keinginan-keinginan Anda dalam tulisan.
Bismillahirrahmanirrahim.
Bismillahirrahmanirrahim.
Bismillahirrahmanirrahim.
Sekarang, silakan tulis keinginan-keinginan Anda. Tak perlu ragu. Tulis saja sebanyak-banyaknya. Sebagian di antara Anda mungkin menganggap hal ini tidak masuk akal. Manalah mungkin dengan menuliskan keinginan-keinginan kita dapat menyemangati diri untuk menggapainya? Justru dengan menuliskan keinginan-keinginan kita, akan memotivasi diri kita menjadi lebih baik.
Kita akan selalu “terkekang” dengan harapan-harapan kita. Memori tersebut mendorong alam bawah sadar kita supaya terus bersemangat mengejar keinginan-keinginan itu. Alam bawah sadar bekerja sangat halus, kadang kita dibawa pada ketidaksadaran, tetapi tetap akan menyertai pilihan hidup kita.
Ambil perumpamaan, ketika kita merasa lelah, jenuh, bosan, dan malas, maka lihatlah kembali catatan keinginan-keinginan yang kita harapkan tercapai. Insya Allah, semangat kita kembali menyala. Api hidup kita kembali berkobar. Kita sadar bahwa kejenuhan dan kebosanan menghalangi langkah kita untuk maju. Tak ada yang mesti kita ragukan.
Ketika semangat kita mengendur, lihatlah kembali keinginan-keinginan kita. Cobalah fokuskan pikiran dan perasaan kita pada pencapaian keinginan-keinginan kita itu. Inilah yang saya lakukan selama ini. Sebelum menjadi seorang penulis, saya sudah menoreh keinginan-keinginan saya.
Salah satunya, saya mempunyai asa untuk menulis buku yang dapat dinikmati orang banyak. Keinginan tersebut saya tuliskan di secarik kertas, kemudian saya pajang di dinding, di depan ruang tidur. Setiap kali hendak tidur, saya menatap keinginan saya itu. Begitu pun ketika bangun tidur, saya tatap keinginan saya itu: menulis buku.
Semangat saya berderu, semakin seru. Saya sangat bersemangat. Hasilnya, setiap hari saya menyempatkan waktu setidaknya dua jam untuk menulis. Selain itu, dua jam untuk membaca. Selebihnya, saya gunakan untuk mengejar keinginan-keinginan saya yang lain. Apakah perjalanan saya menuliskan sebuah buku lancar-lancar saja karena saya sudah menuliskan keinginan itu? Oh, tentu tidak. Justru, banyak sekali cobaan, godaan, dan kendala. Lazimnya adalah rasa malas dan pikiran-pikiran negatif lainnya.
Salah satu pikiran negatif yang paling mengganggu saya dan menyebabkan saya malas menulis adalah saya tidak yakin bahwa tulisan saya ini akan lebih baik daripada tulisan-tulisan penulis lain. Pikiran dan perasaan seperti itulah yang menghantui saya di awal karier menulis. Sekarang, apakah saya membiarkan begitu saja pikiran dan perasaan negatif membelenggu isi kepala saya?
Bergegas saya sadar. Saya membaca kembali keinginan-keinginan saya. Jika orang lain bisa menulis buku, mengapa saya tidak bisa? Saya juga bisa! Saya menatap catatan keinginan yang sudah saya tulis itu. Lambat laun, semangat saya pulih kembali. Keesokan harinya, saya mulai menulis lagi.
Apa yang saya alami? Ternyata, sungguh ajaib. Sekarang, saya sudah menuntaskan kurang lebih lima judul buku, baik yang saya tulis sendiri maupun yang saya tulis bersama teman-teman saya. Menakjubkan! Setidaknya, saya merasakan bahwa keinginan-keinginan yang dituliskan jauh lebih “menggetarkan” daripada keinginan yang sebatas ucapan. Saya berteguh pada sebuah peribahasa, “yang tertulis akan abadi” (scripta manent, verba volant). Minimal, tulisan akan menegur kita. Ia menjadi memori yang “hidup”.
Sadari bahwa manusia tempatnya khilaf, alpa, dan lupa. Oleh sebab itu, kita membutuhkan catatan agar kita tidak lupa. Catatan itu yang akan mengingatkan kita. Dengan begitu, seolah-olah kita memiliki tanggung jawab untuk merealisasikannya. Kita terpacu mencari cara terbaik untuk mencapainya.
Kedua, Kejarlah Keinginan-keinginan Itu
Setelah kita menulis keinginan-keinginan kita, apakah kita hanya tinggal diam sambil memandang catatan keinginan-keinginan tersebut? Jika demikian, kita tak akan mungkin menggapai keinginan-keinginan tersebut. Kita hanya buang-buang waktu dan menyia-nyiakan kesempatan.
Rumusan mencapai keinginan kita sangat sederhana: tuliskan dan berusaha melakukan apa yang kita tuliskan itu. Kita bisa saja menuliskan sebanyak mungkin keinginan-keinginan kita, tapi sebaiknya kita menuliskan keinginan-keinginan yang benar-benar akan segera kita capai. Dalam arti, kita membuat prioritas setiap keinginan kita. Kita dapat mengategorikannya ke dalam tiga prioritas, yaitu prioritas utama, sedang, dan kurang, disertai dengan perhitungan jangka waktu.
Prioritas utama merupakan keinginan-keinginan yang ingin kita capai dalam waktu dekat atau sangat mendesak. Misalnya, Anda ingin segera memiliki calon istri di tahun ini. Kalau memang hal itu menjadi prioritas, sebaiknya Anda berusaha keras mendapatkan calon istri dibandingkan usaha yang lainnya. Fokuskan pikiran dan perasaan Anda untuk mewujudkan keinginan itu.
Sedangkan prioritas sedang dan kurang, yaitu keinginan-keinginan kita dalam kurun waktu yang lama. Misalnya, kita ingin membeli mobil lima tahun mendatang. Keinginan-keinginan ini tidak terlalu mendesak bagi kita. Akan tetapi, kita harus merencanakan mulai saat ini. Kita harus membuat “peta” perjalanan menuju keinginan-keinginan jangka panjang tersebut.
Saya sedih sekali melihat sebagian orang yang tidak merencanakan keinginan-keinginan mereka untuk jangka waktu lima atau sepuluh tahun yang akan datang.
Jarang sekali kita menanyakan hal ini pada diri kita: kehidupan seperti apakah yang kita inginkan lima tahun atau sepuluh tahun ke depan? Bahkan, mungkin saja sebagian di antara kita memiliki prinsip untuk hidup apa adanya saja. Hidup mengikuti alur kebanyakan orang. Akibatnya, kita tidak memiliki semangat untuk maju. Hidup kita pun tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Masa depan tidak terjadi sesuai harapan jika kita tidak merencanakannya.
Terkadang, saya tidak habis pikir mengapa kita tidak mau mengejar keinginan-keinginan kita dengan sungguh-sungguh. Kita tidak tahan banting. Bahkan, kita cenderung menginginkan keinginan itu secepat kilat terwujud. Bila perlu, tanpa usaha yang memadai, keinginan itu langsung tercapai.
Kita hidup di alam realitas, bukan alam dongeng. Kita tidak mungkin mencapai keberhasilan tanpa adanya usaha yang memadai. Usaha itu wajib kita lakukan.
Saya tidak bermaksud menggurui Anda untuk segera memikirkan masa depan Anda, tidak. Itu hak Anda. Saya hanya memberikan opini kedua untuk perbaikan kehidupan Anda. Karena, apa yang saya tuliskan di sini, pada dasarnya, berasal dari pengalaman saya menyaksikan orang-orang yang bahagia dan sukses. Dari sekian banyak orang yang telah memetik “buah-buah” kebahagiaan, ternyata—sebelum menemukan kebahagiaan itu—mereka telah membuat perencanaan yang matang. Mereka telah menyusun peta perjalanan hidup mereka.
Kabar baiknya, mereka tidak hanya mendesain satu peta perjalanan. Mereka memiliki banyak peta perjalanan. Peta perjalanan itulah yang mereka jadikan acuan untuk mencapai keinginan-keinginan mereka. Tentunya, mereka juga terus termotivasi, karena mereka sudah memiliki keyakinan ke mana mereka harus melangkah. Tujuan hidupnya jelas. Akan tetapi, ingat, gagal merencanakan bisa membuat sebuah perencanaan yang gagal.
Sekali lagi, kita membutuhkan semangat untuk mengejar keinginan-keinginan kita. Semangat itu hanya kita dapatkan melalui perenungan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Al-Qur’an merespons diri kita.
Ketika kita bersemangat, Al-Qur’an akan menambahkan semangat itu. Semangat apa pun itu—yang sesuai tuntunan Allah—akan terpacu. Kita hanya membutuhkan konsistensi. Istikamah. Kita membutuhkan panduan terbaik dalam hidup ini, yakni Al-Qur’an. Kita memerlukan Al-Qur’an sebagai penerang dalam hidup, sebagai sandaran ketika terjepit oleh permasalahan yang pelik.
Ketiga, Sandarkan pada Al-Qur’an
“Sesungguhnya orang yang dalam rongga badannya tidak terdapat sesuatu dari Al-Qur’an adalah seperti rumah yang roboh.” (H.R. Tirmidzi).
Kita kerap membaca di media massa nasional maupun lokal tentang tindak perilaku di luar nilai-nilai kemanusiaan. Kita sering mendapati berita pemerkosaan, bunuh diri, pencopetan, pembunuhan, dan tragedi hidup yang naas lainnya.
Ternyata, kebanyakan kisah yang mengenaskan tersebut berawal dari ketidakberdayaan menahan dera kesulitan hidup. Perekonomian yang morat-marit mendesak seorang kepala keluarga untuk mencuri atau bahkan menghabisi nyawa istri dan anak-anaknya.
Mengapa seorang ayah tega mengakhiri nyawa anaknya? Seolah kasih sayang lenyap begitu saja. Gara-gara tidak mampu lagi menafkahi anak dan istri, nyawa menjadi taruhan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Inilah yang sekarang kerap kali kita saksikan, baik melalui media elektronik maupun media cetak.
Benarkah kasih sayang seorang manusia menghilang begitu saja karena keadaan ekonomi yang terjepit? Tidak sepenuhnya benar. Masih ada sebagian orang yang kita temukan sangat tegar. Meskipun hidup dalam kemiskinan, mereka tetap memelihara kasih sayangnya.
Kasih sayang adalah segala-galanya karena dalam hati mereka melekat nilai-nilai Al-Qur’an. Meskipun miskin, hati mereka kaya. Hati mereka selalu dinaungi kesyukuran kepada-Nya.
Saya sendiri merasakan bahwa saya membutuhkan sebuah “tiang penopang” untuk menjadi sandaran hidup. Saya membutuhkan panduan yang bisa menenteramkan saya meskipun keadaan ekonomi saya belum membaik. Saya memerlukan petunjuk untuk menelusuri rimba dunia ini. Saya haus dan dahaga pada Al-Qur’an.
Kalau saya pikir-pikir, sekarang ini banyak dari kita yang menyandarkan diri pada gemerlap dunia, tanpa sadar kita menjadi budak kehidupan. Keserakahan Fir’aun dan Qarun yang hinggap terkadang lupa kita sadari. Parahnya, kita lupa bersyukur kepada Allah. Padahal, semua karunia hidup adalah pemberian-Nya. Kalau sudah begini, saya khawatir ketika harta itu lenyap, kita tidak ada tempat untuk bergantung lagi. Kita menjadi stres—merasa sangat tertekan. Sadarlah diri kita, selama ini kita lebih berat menjaga harta.
Sebaliknya, kalau kita sandarkan hidup kita pada nilai-nilai Al-Qur’an, niscaya hati dan pikiran kita menjadi tenang. Meskipun kita kehilangan banyak kekayaan, kita tak pernah menjadi takut. Walaupun usaha kita mengalami kerugian, kita tak pernah gentar berusaha kembali. Kendati kita gagal, kita pantang untuk menyerah.
Kita meyakini bahwa Allah senantiasa membimbing kita. Kita memercayai bahwa Allah akan menggantikannya dengan yang lebih banyak dan lebih baik. Maka, tidak mengherankan jika kita menemukan orang-orang yang gagal dalam bisnisnya, eh, tiba-tiba mengalami kesuksesan besar.
Mereka mempunyai keyakinan yang kuat pada Allah. Mereka menyadari bahwa Allah akan memberikan yang terbaik bagi kehidupan. Ini sesuai dengan Hukum Ketertarikan.
Lalu, apa hubungannya dengan pencapaian keinginan-keinginan kita? Dalam penjelasan subbab sebelumnya, saya menyemangati Anda untuk mengejar keinginan Anda. Saya harap Anda sudah merasa yakin bahwa Anda dapat merengkuh impian-impian Anda.
Setelah kita memiliki semangat untuk mengejar impian-impian, lalu menuliskannya dalam sebentuk peta perjalanan hidup kita dan berusaha sekuat tenaga mewujudkannya, langkah selanjutnya adalah kita harus pasrah. Maksud pasrah di sini adalah kita perlu tetap bersandar pada Al-Qur’an.
Ketika kita mengalami banyak rintangan, hambatan, dan cobaan, kembalikan semua itu pada nilai-nilai Al-Qur’an. Kita dapat membaca dan memahami nilai-nilai dalam Al-Qur’an. Tahapan ini membuat kita akan semakin tegar mewujudkan keinginan-keinginan kita. Inilah yang saya sebut sebagai tindakan “memperkuat ketegaran.”
Memperkuat Ketegaran
Saya sadari betul bahwa tidaklah mudah bertahan di tengah himpitan hidup. Kita sudah berusaha mati-matian, tapi hasil yang kita tuai belum sesuai dengan harapan kita. Dalam keadaan seperti ini, kita harus tetap bertahan.
Saya teringat sebuah kisah sukses penjual air kemasan. Saat pertama kali ia mengenalkan bisnisnya, banyak orang yang mencela. Bahkan, banyak orang yang tak percaya bisnisnya itu akan berhasil. “Dasar edan. Mana mungkin di negeri yang makmur dan berlimpah air begini akan laku menjual air dalam kemasan? Mustahil!”
Sang pengusaha air kemasan ini tak pernah mundur sejengkal pun. Apa pun yang dikatakan orang-orang di sekitarnya, ia tetap tegar. Di tengah tekanan itu, ia masih mempertahankan keyakinannya. Ia teguh pada pendiriannya. Ia percaya bahwa usahanya ini akan mengalami kesuksesan besar. Keyakinannya itu terbukti saat ini. Meskipun negeri ini berlimpah air, air kemasan tetap laku terjual.
Seandainya kita berada di posisi sang pengusaha air kemasan, apa yang akan kita perbuat? Apakah kita akan mengikuti perkataan sebagian orang tersebut? Ataukah kita percaya dengan kemampuan diri kita dan keyakinan-keyakinan kita?
Tidaklah mudah mempertahankan keteduhan diri di tengah terjangan ombak dan badai. Meski demikian, apabila kita memiliki pegangan yang kuat, saya yakin kita tetap bisa berdiri tegar. Meskipun gelombang ombak datang menghantam, kita tetap tegak. Kita hadapi ombak-ombak itu. Bahkan, kita menantangnya. Untuk itu, kita membutuhkan pegangan yang kuat.
Di dunia ini, kita membutuhkan Al-Qur’an sebagai pegangan hidup. Kita tidak akan pernah takut menghadapi terpaan badai kehidupan. Justru, kita semakin bertambah kuat. Maka, tak ada sandaran yang lebih kokoh selain Al-Qur’an, sumber kebahagiaan, yaitu kebahagiaan yang langsung bersumber dari-Nya, Allah Yang Mahabijaksana.
Baiklah, kalau dalam bab ini kita banyak membicarakan bagaimana Al-Qur’an merespons keinginan-keinginan kita, pada bab selanjutnya saya akan tuntun Anda untuk merespons Al-Qur’an.
Saya akan memandu Anda menggunakan diri Anda untuk memasuki alam Al-Qur’an. Kemudian, Anda dapat langsung berinteraksi dengan Al-Qur’an lebih erat lagi. Saya juga akan menyertakan contoh-contoh konkret bagaimana cara kita merespons Al-Qur’an.
Silakan Anda membaca bab terakhir dari buku ini. Temukan kedahsyatan Al-Qur’an sebagai sumber Hukum Ketertarikan. Jangan dilewatkan begitu saja!
5. CARA KITA MERESPONS AL-QUR’AN
Pada Bab sebelumnya, telah saya paparkan bagaimana Al-Qur’an merespons keinginan-keinginan kita. Pada bagian ini, saya akan membahas kebalikannya, bagaimana kita merespons Al-Qur’an.
Supaya Al-Qur’an merespons kehendak kita, kita pun harus merespons Kitab Suci ini. Bagaimana kita akan merespons Al-Qur’an jika tidak mengetahui seluk-beluk Al-Qur’an? Bagaimana Al-Qur’an merespons kemauan-kemauan kita jika kita sendiri tidak mau berupaya merespons Kitab Mulia ini? Dengan kata lain, kita harus siap menerima respons Al-Qur’an. Kita harus berupaya menangkap sinyal-sinyal yang diberikan Al-Qur’an.
Sebagai contoh, jika kita mempunyai laptop dan akan menghubungkannya dengan jaringan internet, kita tentu membutuhkan fasilitas WiFi. WiFi inilah yang akan mendeteksi jaringan internet yang ada di lingkungan kita. Ia akan memberitahu kita sinyal apa saja yang sedang aktif.
Ketika akan masuk (sign in), kita diminta mengisi password sebagai hak akses. Kecuali, jika jaringan internetnya dibuka untuk umum (gratis), kita tidak perlu mengisi password. Secara otomatis, kita langsung dapat menggunakannya.
Sebaliknya, jika laptop kita tidak dilengkapi dengan fasilitas WiFi, kita tidak mengetahui jaringan apa saja yang berada di sekitar kita. Kita pun tidak dapat berkoneksi dengan jaringan internet.
Analogi seperti itulah yang setidaknya menggambarkan koneksi kita dengan Al-Qur’an. Kita yang sudah mengetahui cara merespons Al-Qur’an tentu lebih mudah menerima sinyal-sinyal Al-Qur’an. Kita lebih mudah mempraktikkan nilai-nilai Al-Qur’an untuk mewujudkan akhlak Qurani agar hidup kita tenang, damai, dan bahagia.
Lalu, bagaimana dengan kita yang belum terkoneksi dengan Al-Qur’an? Tenang saja, saya berikan kiat-kiat sederhana berikut ini kepada Anda.
Bacalah Al-Qur’an Meski Hanya Satu Menit
Sebagian di antara kita masih jarang sekali menjadikan Al-Qur’an sebagai kebutuhan. Mungkin kita hanya memperlakukan Al-Qur’an sebagai hiasan di rumah kita. Atau, kita jadikan Al-Qur’an sebagai jimat pengusir ruh-ruh jahat. Memang, tak ada salahnya memajang Al-Qur’an di rumah, setidaknya hal itu menunjukkan identitas kita sebagai seorang muslim. Hanya saja, seyogianya kita baca. Kita posisikan Al-Qur’an sebagai kebutuhan kita sehari-hari.
Saya menyadari bahwa untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai kebutuhan tidaklah semudah membalikkan wajah ke kiri dan kanan. Kita memerlukan usaha maksimal untuk mewujudkan hal itu.
Caranya sederhana sekali. Cobalah untuk membiasakan membaca Al-Qur’an meski satu menit saja. Ya, only one minute! Cukup satu menit saja untuk satu ayat. Karena, saya yakin sekali, rata-rata lama membaca Al-Qur’an untuk satu ayat adalah satu menit. Bahkan, saya yakin juga dalam satu menit kita sudah bisa menuntaskan dua sampai tiga ayat pendek. Sederhana dan ringan sekali.
Dalam satu menit itulah, kita memerhatikan diri ini dengan bacaan-bacaan Al-Qur’an. Kita dapat merenungkan ayat demi ayat yang kita baca. Setelah itu, kita “getarkan” hati ini.
Dalam bukunya, One Minute for Myself, Spencer Johnson menulis berbagai hal yang menarik tentang kebiasaan perenungan diri kita. “Sesungguhnya, dalam satu menit, saya dapat mengubah sikap saya. Dalam satu menit itu—jika saya dapat mengubah sikap saya—maka saya dapat mengubah seluruh hari saya berikutnya.” tandasnya.
Sebelum jauh membahas kebiasaan membaca Al-Qur’an, cobalah semenit saja untuk membaca satu atau dua ayat, lalu kita amalkan sesuai kemampuan. Dengan melatih kebiasaan tersebut, saya meyakini bahwa diri kita akan berubah menjadi lebih baik.
Untuk merealisasikan hal itu, kita membutuhkan komitmen dan konsistensi. Sempatkan waktu untuk menikmati Al-Qur’an. Dengan kebiasaan-kebiasaan sederhana itulah kita akan menjadikan Al-Qur’an sebagai kebutuhan kita. Lambat laun, kita merasa nikmat melantunkan ayat suci Al-Qur’an.
Kita merasakan energi Al-Qur’an mengisi lubuk hati kita. Kita akan merasa lebih tenang, bahagia, dan jauh dari tekanan jiwa. Gersangnya hati berubah menjadi kesejukan. Sempitnya pikiran beralih menjadi kelapangan, dan luka-luka batin berpindah menuju kenyamanan.
Ketika kita lupa membaca Al-Qur’an, rasanya seperti ada yang hilang dalam diri kita. Kita merasa gelisah dan seperti ada yang aneh. Kala kita terlewat menikmati lezatnya Al-Qur’an, ada sesuatu yang ganjil. Hal ini menunjukkan kita telah merespons Al-Qur’an. Hati kita sudah terpaut menyatu dengannya. Kita telah terkoneksi dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Al-Qur’an akan mengingatkan kita saat kita lupa membacanya. Al-Qur’an akan menggetarkan hati kita untuk terpesona lebih jauh lagi. Sungguh menakjubkan, bukan?
Untuk merasakan kenikmatan Al-Qur’an, sebaiknya kita membaca Al-Qur’an setiap kali mengawali aktivitas kita. Sebelum berangkat kerja, alangkah baiknya kita awali dengan membaca Al-Qur’an. Hati kita akan terasa sejuk dan pikiran menjadi tenang. Tanpa disadari, kita sedang memancarkan getaran-getaran positif ke alam sekitar dan alam sekitar pun akan merespons getaran positif tersebut. Maka, bertambah bahagialah kita setiap hari. Sambutlah hari-hari dengan nuansa kebahagiaan seperti ini.
Sebenarnya, tidak ada batasan waktu untuk membaca Al-Qur’an. Kapan pun dan di mana pun berada, kita dapat membaca Al-Qur’an. Kecuali, di tempat-tempat yang tidak diperkenankan, seperti toilet. Kita tidak dianjurkan membaca ayat-ayat suci di tempat yang kotor. Kita bisa membaca Al-Qur’an di kantor, rumah, ruang kuliah, taman, danau, dan di mana saja. Kita juga dapat membacanya pada sore hari, siang hari, pagi hari, dalam kondisi hujan, panas, kapan saja. Semuanya bergantung pada waktu yang kita miliki. Manfaatkanlah waktu kita sebaik mungkin.
Ada sebuah catatan, terus terang, terkadang kesibukan harian membuat kita tidak mempunyai waktu untuk membaca Al-Qur’an. Siang hari, kita beristirahat untuk shalat Zuhur, kemudian makan siang, lalu kerja lagi hingga sore. Selepas Ashar, kita pun terkadang masih harus meneruskan pekerjaan sampai menjelang Magrib. Sesampai di rumah, badan sudah terasa letih. Berat sekali rasanya membaca Al-Qur’an. Selepas Isya, kita mulai bersiap-siap tidur malam.
Nyaris kita tidak punya waktu untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Kalaupun kita bisa membacanya, kadangkala tidak efektif. Dalam keadaan begini, kondisi kita tidak memungkinkan untuk mengkaji isi Al-Qur’an. Kita benar-benar lelah.
Jangan khawatir, cobalah untuk membiasakan membaca Al-Qur’an pada pagi hari sebelum kita memulai aktivitas di luar rumah. Pastikan juga kita memahami makna dari ayat yang kita baca. Dengan begitu, niscaya kita akan bahagia sejak pagi hari. Kita mengawali hari dengan pikiran dan perasaan positif.
Cara seperti ini telah saya buktikan sendiri kedahsyatannya. Sewaktu SMU (Sekolah Menengah Umum), sekolah saya mewajibkan bertadarus Al-Qur’an lima belas menit sebelum pelajaran dimulai. Setiap hari, setiap siswa membawa Al-Qur’an. Begitu bel berdering, seluruh siswa membaca Al-Qur’an di kelas masing-masing. Suasana sekolah terasa syahdu dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Setelah membaca Al-Qur’an, lalu Bapak/Ibu Guru masuk kelas memberikan pelajaran. Saya dan teman-teman merasa sangat mudah menangkap penjelasan mereka. Bahkan, suasana belajar terasa sangat khusyuk, konsentrasi menjadi utuh.
Semua siswa memperhatikan penjelasan guru dengan baik. Bahkan, saya yang awalnya merasa takut mengajukan pertanyaan justru mulai muncul keberanian untuk bertanya. Begitu pun dengan teman-teman saya yang lain. Hasilnya, suasana kelas benar-benar menjadi sangat menyenangkan. Sungguh ajaib!
Kebiasaan membaca Al-Qur’an sebelum memulai pelajaran akan mengondisikan seluruh siswa untuk siap menerima materi pelajaran. Buktinya, begitu usai membaca Al-Qur’an, saya seolah-olah merasa mudah menerima penjelasan Bapak/Ibu Guru. Energi Al-Qur’an telah bertransformasi dalam diri saya: hati, pikiran, dan perbuatan.
Sebenarnya, kebiasaan sederhana tersebut selaras dengan kehidupan keseharian kita. Analoginya, bagaimana mungkin kita akan mendapatkan kebahagiaan kalau kita tidak mau mengondisikan diri kita sesuai dengan kehendak Al-Qur’an? Bagaimana mungkin kita akan merasa nyaman, damai, dan tenang jika kita tidak mau menenangkan pikiran dan perasaan kita?
Ketenangan itu hanya kita peroleh melalui kesadaran akan adanya sumber ketenangan yang mesti kita pahami. Allah telah memberikan ketenangan, tinggal bagaimana cara kita mengabadikan ketenangan itu dalam jiwa kita. Dengan membiasakan diri membaca Al-Qur’an, sudah cukup menjadi sumber ketenangan kita.
Bermeditasi dengan Al-Qur’an
Al-Qur’an juga dapat kita gunakan sebagai sarana bermeditasi. Mungkin kita baru mendengarnya, bukan? Kita cukup menyimak lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an, melemaskan seluruh anggota tubuh untuk rileks, dan mengerahkan seluruh pikiran dan perasaan kita pada ayat-ayat yang sedang kita dengar. Cara ini pun sangat membantu kita yang belum bisa membaca Al-Qur’an.
Kita yang mengalami banyak masalah ingin menenangkan diri. Kita berniat menguatkan keyakinan kita untuk tercapainya keinginan-keinginan kita, maka cocok sekali membiasakan diri bermeditasi dengan Al-Qur’an (tahannuts/tadabbur bil-Qur’an). Caranya sederhana sekali. Saya berikan cara ini semudah mungkin agar Anda mudah mempraktikkannya. Kendati sederhana, ia punya dampak yang luar biasa.
- Nyalakan laptop, komputer, MP3, atau tape recorder. Pilihlah surah-surah Al-Qur’an yang sudah kita pahami maknanya. Tidak mesti kita pahami makna seluruh ayatnya. Memahami maksud surah tersebut sudahlah cukup. Sebagai contoh, kita memilih surah pendek seperti Al-Ikhlas. Maka, kita tak perlu menghafalkan artinya. Kita cukup tahu maksud surah tersebut: beribadah kepada Allah…
- Dengarkan dan simak sebaik mungkin. Renungkan baik-baik. Berusahalah berkonsentrasi dan fokus pada ayat yang sedang dibacakan. Lupakan sejenak masalah-masalah kita. Biarkan masalah itu lenyap untuk sementara waktu. Nikmatilah lantunan ayat suci Al-Qur’an.
- Duduklah sebentar, pejamkan mata kita. Bayangkan keinginan-keinginan kita. Lalu, tancapkan kuat-kuat dalam hati: saya dapat mencapai keinginan. Bayangkan saja bahwa kita sudah mencapai keinginan-keinginan itu. Lepaskan seluruh beban hidup kita. Bayangkan, sekarang semua permasalahan kita sudah tuntas. Kemudian, bukalah mata kita, lalu dengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Apabila kita sudah merasa rileks dan kembali percaya diri, matikan tape recorder atau MP3.
- Dalam keadaan bahagia, angkatlah tangan kita. Ucapkan doa, lalu berdoalah sesuai dengan harapan-harapan kita.
Gunakan cara ini sebelum kita berangkat ke kantor atau sebelum mengawali aktivitas kita. Atau, kita juga bisa melakukannya di sela-sela waktu istirahat. Bisa juga ketika semangat kerja kita sedang menurun. Kita butuh me-recharge energi kita dengan Al-Qur’an. Berhentilah sejenak untuk menikmati kedamaian yang diembuskan saat kita membaca Kitab Suci ini. Insya Allah, setelah melakukannya, kita akan kembali bersemangat. Demikianlah manfaat meditasi Al-Qur’an sebagai sarana kita merespons nilai-nilai yang dikandung Al-Qur’an.
Pahamilah Perkataan Al-Qur’an
Sebenarnya, memahami ucapan-ucapan Al-Qur’an itu tidaklah susah. Mudah. Allah pun telah memberikan jaminan kepada hamba-hamba-Nya. Hanya, saya mengerti dengan keadaan kita yang mempunyai banyak kesibukan. Kita harus mengurus pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk, presentasi di sana-sini, menjamu pelanggan, dan seterusnya.
Akibatnya, kita nyaris tidak mempunyai kesempatan menyapa ucapan-ucapan Al-Qur’an. Tak jadi soal. Meski kita sibuk, kita tetap bisa berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Untuk Anda yang supersibuk dan ingin tetap dekat dengan Al-Qur’an, mungkin Anda dapat mempraktikkan beberapa tips berikut ini:
- Sediakanlah Al-Qur’an digital yang disertai terjemahannya. Kita dapat mengunduhnya (install atau download) di handphone (HP). Ini memudahkan kita mengakses di mana saja dalam waktu sesingkat mungkin.
- Pergunakan sela-sela waktu istirahat kita untuk membaca dan merenungkan maknanya. Misalnya, ketika kita sedang beristirahat sejenak seusai rapat kantor, maka kita dapat menggunakan waktu itu untuk membaca Al-Qur’an digital. Atau, kita dapat membacanya sambil mencicipi makanan ringan. Cukup satu menit saja.
- Kita juga bisa merenungkan isi Al-Qur’an ketika dalam perjalanan menuju kantor. Kita dapat memutar tape recorder di mobil atau mendengarkannya menggunakan earphone.
Lalu, bagaimana dengan Anda yang punya banyak waktu di rumah? Mungkin Anda seorang ibu rumah tangga atau seorang pensiunan. Bagi kita yang aktivitasnya banyak di rumah, tentu memiliki waktu lebih banyak untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an. Terlebih, jika Anda ibu rumah tangga.
Dengan memahami ucapan-ucapan Al-Qur’an dapat mendatangkan rahmat dalam keluarga. Boleh jadi, suami Anda bertambah cinta, anak bertambah cerdas, dan rezeki tak pernah kekurangan.
Berikut beberapa tips praktis yang bisa Anda lakukan:
- Biasakanlah mengajak suami dan anak-anak membaca Al-Qur’an selepas salat Subuh (lima sampai sepuluh menit);
- Di pagi hari, sekitar pukul sembilan, rutinkan untuk salat Dhuha. Bacalah Al-Qur’an satu sampai dua ayat saja. Syukur-syukur, Anda dapat membaca satu sampai dua halaman. Lalu, berdoalah. Mintalah kelancaran rezeki untuk keluarga Anda;
- Bacalah Al-Qur’an terjemahan. Baca satu ayat beserta artinya. Berusahalah untuk memahaminya sesuai dengan keadaan diri kita atau sesuai dengan pengalaman-pengalaman yang pernah kita temui;
- Menjelang tidur atau seusai salat Isya, Anda dapat membaca Al-Qur’an sejenak, satu menit saja. Lalu, pahami artinya. Anda dapat mengajak anak-anak. Dengan begitu, insya Allah, keluarga Anda semakin harmonis dan Anda sudah merespons Al-Qur’an dengan baik;
- Aturlah waktu membaca Al-Qur’an sefleksibel mungkin.
Cobalah praktikkan tips di atas dengan konsisten. Kadang-kadang kita malas membiasakannya. Jika kita terus-menerus membiasakannya, kita akan mengalami perubahan hidup. Kita yang punya banyak masalah, perasaan tidak tenang, takut, gelisah, dan perasaan negatif lainnya, insya Allah segera berganti menjadi ketenangan, kebahagiaan, dan kepuasan yang dalam. Anda mau bukti? Silakan Anda praktikkan kiat-kiat di atas.
Gunakan Doa-doa yang Ada di Dalam Al-Qur’an
Salah satu cara kita merespons Al-Qur’an yaitu dengan menggunakan doa-doa di dalamnya. Kalau kita membaca surah demi surah, akan kita temui doa-doa dahsyat yang menggetarkan hati. Kita akan mendapati betapa hebatnya doa-doa di dalamnya.
Kabar gembiranya, doa-doa itu sangat beragam sesuai dengan kebutuhan kita. Seperti halnya doa-doa para nabi yang sangat sesuai dengan kebutuhan mereka.
Berikut ini beberapa doa dalam Al-Qur’an yang dapat kita panjatkan sesuai dengan kebutuhan kita.
Ketika kita senang sekali bermaksiat kepada Allah dan sesegera mungkin menyadarinya, kita dapat melantunkan doa Nabi Adam a.s.
Rabbana zalamna anfusana wa illam taghfir lana watarhamna lanakunanna minal-khasirin.
“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 23);
Jika kita belum dianugerahkan buah hati, cobalah sesering mungkin memahami dan membaca doa Nabi Zakariya berikut ini.
Rabbi inni wahana al-‘azmu minni wasyta’ala ar-ra’su syaiban wa lam akun bidu’aika rabbi syaqiyya wa inni khiftul-mawaliya miw warai wa kanatimra’ati ‘aqiran fahab li mil ladunka waliyya.
“Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku. Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu.” (Q.S. Maryam [19]: 4-5);
Saat kita kebingungan mengambil keputusan, kita dapat membaca doa Nabi Syu’aib.
Rabbanaftah bainana wa baina qawmina bil-haqqi wa anta khairul-fatihin.
“Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (sebenar-benarnya). Engkaulah pemberi keputusan terbaik.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 89).
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang dapat kita gunakan sebagai doa. Dengan begitu, kita bisa semakin intens berinteraksi dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an pun akan merespons kita.
Kita yang terus terfokus pada nilai-nilai Al-Qur’an dengan perasaan dan pikiran kita, pada dasarnya sedang mengirim getaran-getaran positif ke alam sekitar. Pada gilirannya, alam sekeliling akan merespons balik getaran tersebut.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan kehidupan orang-orang yang memahami Al-Qur’an jauh dari kesengsaraan hidup. Mereka hidup tenang, damai, dan bahagia.
Rasulullah saw dan para sahabatnya adalah teladan utama dalam hal ini. Seberat apa pun permasalahan yang mereka hadapi, mereka tetap teguh, tanpa ada keluh kesah. Senyum selalu mengembang dari wajah mereka setiap hari.
Itu semua—saya yakin—karena pikiran dan perasaan mereka selalu positif.
“Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa; dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain; dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 12).
Getaran (pikiran dan perasaan) positif itulah yang membahagiakan hidup mereka. Mereka fokus pada tujuan mereka: merengkuh kebahagiaan dunia dan akhirat. Hasilnya, Hukum Ketertarikan merespons keinginan-keinginan mereka.
Waktu yang Tepat Berdialog dengan Al-Qur’an
Sejatinya, Hukum Ketertarikan akan merespons semua keinginan kita. Apa yang kita fokuskan, itulah yang kita peroleh. Oleh sebab itu, kita perlu memeriksa fokus perasaan dan pikiran kita. Jangan-jangan, kita terfokus pada ketidakbahagiaan dan rasa ketakutan.
Untuk mengubah fokus kita ke arah yang benar dan cepat, kita membutuhkan Al-Qur’an. Kita memerlukan respons Al-Qur’an. Kita pun harus merespons Al-Qur’an. Saling timbal-balik merupakan wujud respons yang sejati. Untuk memaksimalkan semua itu, kita membutuhkan waktu yang tepat. Waktu yang kita dapat berkonsentrasi penuh. Tak ada yang dapat mengganggu kita. Cukup kita dan Allah.
Dalam penjelasan awal, saya sudah menyinggung sedikit kapan waktu yang tepat untuk melantunkan ayat-ayat Allah. Untuk Anda yang sibuk, mungkin Anda dapat membaca atau mendengarkan Al-Qur’an di pagi hari sebelum berangkat ke kantor.
Akan tetapi, untuk kita yang ingin mengejar keutamaan, waktu yang mustajab adalah sepertiga akhir malam. Bangunlah pada waktu yang penuh rahmat ini. Berwudhulah dan tunaikan shalat Tahajud.
Mendekatlah kepada-Nya. Berdoalah. Mintalah semua apa yang kita fokuskan. Mintalah supaya Allah menambah ketajaman fokus kita. Kita dapat terfokus pada keinginan-keinginan kita. Sekali lagi, mohonlah kepada Allah untuk mempertajam fokus itu.
Tuhan kita Azza wa Jalla (Yang Mahamulia dan Mahaagung) turun setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir. Pada saat itu, Allah SWT berfirman,
“Siapa yang berdoa kepada-Ku, pasti Aku kabulkan, siapa yang memohon kepada-Ku pasti Aku berikan (permohonannya) dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, pasti Aku ampuni” (H.R. Al-Jamaah).
Setelah shalat Tahajud, bukalah Al-Qur’an terjemahan. Bacalah surah yang paling kita gemari. Bacalah dari ayat pertama dan seterusnya. Lihatlah terjemahan masing-masing ayat, lalu renungkanlah dengan sebaik-baiknya.
Pada waktu sepertiga malam itulah kita akan merasakan betapa dekatnya diri kita dengan Allah, karena Allah “turun hadir” ke bumi. Dia mengabulkan segala permintaan kita. Tentunya, Dia juga memberikan kekuatan.
Salman Al-Farisi berkata, Rasulullah saw bersabda,
“Kerjakanlah shalat malam sebab hal itu adalah kebiasaan orang-orang yang saleh sebelum kamu; jalan mendekatkan diri kepada Tuhan: penebus kejelekan-kejelekanmu; penebus dosa serta penghalau penyakit dari tubuh.”
Selain di waktu sepertiga malam, kita pun dapat membiasakan diri membaca Al-Qur’an seusai shalat Subuh. Waktu ini tak kalah dahsyatnya dengan sepertiga akhir malam.
Selain dua waktu tersebut, kita dapat membaca Al-Qur’an kapan saja; di waktu fajar, pagi hari, atau siang hari. Silakan mencoba!
Tak Hanya “Tahu”, Kita Pun Sebaiknya “Mau”
Alhamdulillah, kita sudah menuntaskan buku ini. Sejatinya, buku ini mengantarkan kita memahami energi-energi dalam Al-Qur’an, merespons, dan membiasakan diri berinteraksi dengan Al-Qur’an. Melalui jenjang tahapan ini, pikiran dan perasaan kita selalu berada dalam kondisi positif. Semakin kita memahami dan memasuki “alam” Al-Qur’an, tanpa kita sadari, kita sedang menyuntikkan getaran positif dalam kehidupan kita.
Hasilnya, getaran positif itulah yang kita pancarkan ke lingkungan sekitar (lingkungan keluarga, kantor, dan lainnya). Dan, alam sekitar akan memberikan getaran yang sama. Sungguh sesuai dengan Hukum Ketertarikan.
Sekali lagi, untuk memperoleh getaran positif, kita perlu mengetahui cara menyuntikkan energi dari Al-Qur’an (energi doa, syukur, dan sabar). Lalu, kita kolaborasikan ketiga energi itu. Kita pahami kemauan Al-Qur’an. Maka, hidup kita akan diliputi kebahagiaan, ketenteraman, kedamaian, ketenangan, dan kenikmatan hidup lainnya. Kita pun—dengan menuntaskan buku ini—telah mengetahui cara merespons Hukum Ketertarikan melalui Al-Qur’an. Ingatlah, janji Allah, setelah berusaha, kemudahan akan menyertai kita (fa inna ma’al-‘usri yusra).
Saya ucapkan selamat! Anda telah beruntung menuntaskan buku ini. Setidaknya, Anda telah mengetahui bahwa betapa dahsyatnya Al-Qur’an memberikan langkah-langkah untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan.
Sekarang, bergantung pada diri Anda sendiri: apakah Anda sekadar tahu atau Anda mau mempraktikkan apa yang tertulis dalam buku ini?
Saran saya: praktikkanlah apa yang sudah Anda baca. Sekarang!
6. MELIPATGANDAKAN GETARAN POSITIF
Saya yakin Anda telah membaca bagian sebelumnya: mengaktifkan getaran positif dan mempertahankan getaran positif. Dengan memahami dan mempraktikkan bab-bab sebelumnya, setidaknya Anda telah siap memasuki bab ini: melipatgandakan getaran positif Anda.
Tentu saja untuk mewujudkan keinginan-keinginan kita dibutuhkan semangat pantang menyerah. Terus berupaya semaksimal mungkin. Namun, apa jadinya apabila semangat mewujudkan keinginan-keinginan mulia kita itu terhenti di tengah jalan. Sungguh fatal, bukan?
Nah, supaya keinginan-keinginan kita tetap menyala, kita membutuhkan getaran positif yang terus-menerus memompa semangat kita. Kita sudah mengaktifkan dan mempertahankan getaran positif. Saatnya, kita melipatgandakan getaran positif itu sehingga semakin “kuat” memompa semangat kita dalam meraih keinginan-keinginan kita.
Tiga cara yang dapat kita lakukan untuk melipatgandakan getaran positif kita yaitu:
- Mensyukuri apa pun yang saat ini Anda miliki.
- Merasakan apa pun yang belum Anda capai menjadi kenyataan.
- Menerima dengan sadar.
Mari kita bahas satu per satu.
Mensyukuri Apa pun yang Kita Miliki
Di bagian sebelumnya, kita telah melatih kesyukuran yang dapat mempertahankan getaran positif kita. Lakukan latihan tersebut sebelum kita mempraktikkan cara bersyukur untuk melipatgandakan getaran positif kita.
Sebelum memperoleh keberlimpahan lebih banyak, kita harus mensyukuri apa yang telah kita miliki saat ini. Hal ini supaya kita menyadari bahwa segala pemberian Allah, sekecil apa pun itu, patut kita syukuri. Dengan begitu, tak ada keluhan dalam hidup kita. Justru kita tetap tersenyum dan optimis bahwa keinginan-keinginan kita, tak lama lagi, akan menjadi nyata.
Paling tidak ada tiga langkah sederhana untuk melipatgandakan getaran positif melalui rasa syukur.
Langkah 1: Kesyukuran diikuti dengan upaya keras mewujudkan impian.
Kita boleh memiliki banyak impian dan keinginan. Tak ada yang melarang. Namun, kita juga harus menyadari bahwa untuk meraih keinginan-keinginan itu dibutuhkan kerja keras. Berupaya dengan kerja keras. Hal itu menunjukkan bahwa kita telah memanfaatkan segala potensi yang diberikan Allah untuk meraih keinginan-keinginan tersebut. Dengan kata lain, kita mensyukuri apa yang telah kita miliki saat ini: potensi diri dan kerja keras.
Beberapa ungkapan kesyukuran yang dapat kita gunakan ketika kita sedang berupaya keras meraih keinginan-keinginan kita:
“Alhamdulillah, saya telah diberikan potensi yang luar biasa oleh Allah SWT. Insya Allah, saya akan pergunakan segala potensi ini untuk meraih keinginan-keinginan saya.” (Pikirkan bahwa orang lain pun dapat mencapai keinginan-keinginan mereka, Anda pun dapat mewujudkannya.)
“Alhamdulillah, saat ini, saya sedang berproses meraih keinginan-keinginan saya dengan bekerja keras. Saya yakin dengan upaya ini, Allah SWT memberikan kemudahan bagi saya untuk meraih keberlimpahan rezeki.”
“Alhamdulillah, saat ini saya diberikan kesehatan, kemampuan berpikir, dan keluarga yang sakinah.” (Sebutkan apa saja yang kita miliki terkait dengan kondisi batiniah kita.) “Terima kasih ya, Allah, telah memberikan semua itu untuk saya.”
“Alhamdulillah, saat ini saya telah memiliki rumah sendiri, mobil.” (Sebutkan apa saja yang kita miliki terkait dengan kekayaan.) “Terima kasih ya, Allah, telah memberikan semua itu.”
“Alhamdulillah, ya Allah, saya akan tetap bekerja keras, mencari rahmat dan rezeki-Mu. Saya yakin rezeki-Mu sangat luas.”
Setelah kita menyatakan ungkapan-ungkapan kesyukuran dalam setiap kerja keras kita, selanjutnya kita sebaiknya merealisasikan ungkapan-ungkapan tersebut dengan action nyata seperti:
Banyak membaca buku motivasi dan kisah orang-orang sukses. Paling tidak kita membaca dua kali dalam seminggu.
Bangunlah lebih pagi dan fokuslah pada keinginan-keinginan kita.
Apabila Anda seorang pengusaha, hadapi pelanggan Anda dengan antusias.
Apabila Anda seorang karyawan, bekerjalah dengan serius dan perbaiki hubungan Anda dengan karyawan lainnya serta dengan atasan Anda.
Berbicaralah dengan santun, dan mendengarlah dengan penuh perhatian.
Lakukan hal-hal positif di atas atau hal-hal lain yang dapat memberikan nilai tambah dalam kehidupan kita. Namun, kita harus tetap mengondisikan diri kita dengan rasa kesyukuran. Ya, bersyukurlah dengan apa yang telah kita miliki saat ini. Lain, lihatlah betapa mudahnya kita memperoleh keberlimpahan.
Langkah 2: Kesyukuran diikuti dengan rajin beribadah
Langkah kedua ini memberikan spirit yang luar biasa sepanjang kehidupan kita. Rajin beribadah merupakan salah satu wujud nyata rasa syukur kita kepada Allah SWT. Beberapa hal berikut dapat kita lakukan untuk meningkatkan ibadah kita:
Beribadahlah melebihi ibadah orang-orang pada umumnya. Beribadahlah di atas rata-rata. Misalnya, biasanya kita hanya shalat lima waktu, cobalah diikuti dengan shalat-shalat sunah, seperti shalat Dhuha, shalat Rawatib, shalat Tahajud, dan lainnya (tentu saja sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah saw).
Kejarlah barisan pertama ketika kita shalat berjamaah. Begitu pun ketika kita sedang mengikuti pengajian, rapat, atau apa pun itu. Upayakanlah duduk di shaf paling depan. Ini menunjukkan keseriusan kita dalam menjalani ibadah.
Melangkahlah dengan penuh keyakinan saat menuju masjid. Berjalanlah dengan mantap, tidak terlalu cepat tapi juga tidak terlalu lambat.
Rajinlah bersedekah, ingat tangan di atas jauh lebih baik daripada tangan di bawah.
Rajinlah menjalin silaturahim dan perbanyaklah teman, karena silaturahim bagian dari ibadah.
Insya Allah, dengan rajin beribadah, kita semakin menunjukkan rasa syukur kepada Allah SWT. Dengan begitu, kita dalam proses melipatgandakan getaran positif dalam hidup kita. Alhasil, keberlimpahan semakin dekat dengan diri kita. Aamiin.
Merasakan Apa pun yang Belum Kita Capai, Menjadi Kenyataan
Setelah kita mensyukuri apa pun yang telah kita miliki, berarti kita telah mengondisikan diri kita untuk tetap positif. Hati kita menjadi tentram dan damai. Ketenangan dan kedamaian itulah salah satu pendorong bagi kita untuk tetap positif dalam mengejar impian dan keinginan kita.
Nah, setelah kita mensyukuri, kita pun sebaiknya merasakan keinginan-keinginan itu menjadi benar-benar nyata. Maksud saya, kita harus mampu membayangkan yang belum nyata menjadi nyata.
Logikanya, bagaimana kita akan mendapatkan keinginan-keinginan kita, kalau keinginan tersebut belum nyata (abstrak). Contohnya, kita menginginkan rumah idaman, tapi kita tak tahu seperti apa rumah idaman yang kita inginkan tersebut. Tentu saja, kecil sekali kemungkinan kita mendapatkannya. Oleh sebab itu, keinginan, harapan, dan impian kita harus benar-benar jelas.
Bagaimana kalau keinginan kita belum jelas? Nah, langkah yang patut kita lakukan adalah sebagai berikut.
Tenangkanlah diri kita, ambil buku “impian” kita, tuliskan keinginan-keinginan kita. Tulislah sebanyak mungkin, tak perlu khawatir, keinginan tersebut abstrak atau konkret.
Dari sekian banyak keinginan tersebut, lihatlah kembali satu per satu. Pikirkanlah keinginan yang benar-benar jelas. Keinginan yang tidak jelas kita dapat mencoretnya atau menggantikannya dengan keinginan yang lebih jelas bentuknya. Pindahkan dan catatlah kembali keinginan-keinginan yang jelas tersebut.
Setelah keinginan-keinginan kita jelas, saatnya kita merasakan bahwa keinginan-keinginan tersebut menjadi kenyataan. Misalnya, kita memiliki keinginan pada tahun 2022 nanti akan menunaikan ibadah haji bersama orangtua. Rasakan bahwa kita benar-benar pergi ke Tanah Suci bersama orangtua kita. Tersenyumlah dan ucapkanlah alhamdulillah.
Selain membayangkan impian-impian kita menjadi nyata, kita pun perlu cara lain yang tentunya lebih efektif menambah keyakinan kita.
Lihatlah orang lain di sekitar kita yang telah sukses. Lihatlah teman kita yang telah pergi ke Tanah Suci. Mereka bisa melakukannya, tentu saja kita pun bisa. Lihatlah teman kita yang telah memiliki rumah sendiri. Mereka bisa mewujudkannya, kita pun bisa. Perbanyaklah melihat kesuksesan teman-teman kita, sehingga kita bertambah yakin bahwa semua itu bisa dicapai.
Rasakan bahwa kesuksesan teman-teman kita adalah kesuksesan kita juga. Contoh, kita memiliki sahabat yang telah berhasil memiliki rumah dan kendaraan sendiri. Bukan hanya itu, sahabat kita itu juga mampu menghajikan kedua orangtuanya dan ia gemar bersedekah. Rasakanlah bahwa kesuksesan sahabat kita itu juga kesuksesan kita. Ucapkan selamat kepada kawan tersebut.
Mintalah kawan kita menceritakan kebahagiaannya dan kesuksesan yang telah ia raih. Rasakanlah bahwa kita pun sedang dalam proses mencapai keinginan-keinginan kita.
Mintalah teman kita menceritakan keinginan-keinginannya di masa depan, lalu ceritakan pula keinginan-keinginan kita.
Kembali bersyukur. Ungkapkan apa yang telah kita syukuri, lalu tuliskan impian-impian kita di masa depan. Insya Allah, dengan begitu, kita tetap termotivasi dan tetap berada dalam getaran positif.
Dengan membiasakan diri merasakan impian menjadi nyata akan menambah gairah kita untuk mengejarnya. Alhasil, getaran positif dalam diri kita semakin berlipat-lipat. Kita semakin termotivasi, bukan?
Menerima dengan Sadar
Kita telah bersyukur dan telah merasakan impian kita menjadi kenyataan. Hal itu bagus untuk melipatgandakan getaran positif kita. Akan tetapi, dengan hanya bersyukur dan merasakan impian kita menjadi nyata belumlah cukup untuk pelipatan getaran positif kita.
Kita butuh secara sadar menerima apa pun yang akan terjadi dalam kehidupan kita. Dengan kata lain, kita perlu tawakal atau menyerahkan hasil upaya dan kerja keras kita kepada Allah SWT.
Berikut ini beberapa cara sederhana “menerima dengan sadar” yang mampu melipatgandakan getaran positif kita.
Relakan apa pun yang terjadi dalam hidup kita. Relakan diri kita untuk bekerja keras dan rajin beribadah.
Relakan dan terimalah dengan sadar bahwa keinginan-keinginan kita membutuhkan waktu dan perjuangan untuk mencapainya.
Relakan dan terimalah bahwa mengejar impian membutuhkan keikhlasan dan sifat pantang menyerah.
Lakukan setiap hari ungkapan kerelaan kita, seperti kita rela mengorbankan sedikit waktu tidur kita untuk bertahajud. Buatlah sebanyak mungkin ungkapan kerelaan kita.
Ungkapan kerelaan seperti apakah yang mampu melipatgandakan getaran positif kita? Kita bisa mencoba beberapa ungkapan di bawah ini:
“Saya merelakan diri saya untuk bekerja keras dan rajin beribadah untuk mencapai kesuksesan di dunia dan akhirat.”
“Saya merelakan apa pun yang terjadi dalam hidup ini adalah cobaan dan ujian terbaik dari Allah SWT. Saya rela menerima semua itu karena Allah SWT. Saya yakin semua pemberian Allah adalah anugerah dan bentuk kasih sayang Allah pada hamba-Nya.”
“Saya merelakan diri untuk terus mengejar impian-impian saya sepanjang hidup ini untuk memperoleh keridhaan Allah SWT.”
“Saya merelakan diri saya untuk mengurangi jam tidur saya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Saya yakin semakin dekat dengan Allah SWT, semakin dekat pula kesuksesan, kebahagiaan, dan keberlimpahan.”
Dan lain-lain.
Dengan ungkapan kerelaan seperti itu, sebenarnya kita telah melipatgandakan getaran positif. Mengapa? Karena kita telah secara sadar mengondisikan diri kita dalam pikiran dan hati positif. Kita tetap berprasangka baik terhadap kehendak Allah.
Dengan begitu, pahala pun mengalir dalam hidup kita. Kebahagiaan di dunia dan akhirat insya Allah bisa kita peroleh.
Saya berharap dengan membaca lalu mempraktikkan setiap bagian buku ini, insya Allah, Anda semakin sadar bahwa untuk mencapai kebahagiaan, keberkahan, dan keberlimpahan dalam hidup semuanya bermula dari diri Anda. Ya, diri Anda. Maka, jadikanlah diri Anda tetap dalam getaran positif. Selamat mempraktikkannya!
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hanbali, Ibnu Rajab, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan Imam Al-Ghazali, Tazkiyatun Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafusshalih, terjemahan Imtihan As-Syafi’i, Solo: Pustaka Arafah, 2005.
Al-Hammadi, Abu Umar Abdullah, Misteri Shalat Istikharah, terjemahan Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, edisi revisi, Solo: Pustaka Arafah, 2006.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Tibb al-Qulub, Tombol Ajaib: Cerdas Mengobati Hati Sendiri, terjemahan Muhammad Babul Ulum, Jakarta: Maghfirah, 2007.
Al-Khalidi, Dr. Shalah Abdul Fattah, Kunci Berinteraksi dengan Al-Quran, terjemahan M. Misbah, Jakarta: Robbani Press, 2005.
Al-Lahham, Dr. Sa’id, Adab Doa Mustajab, terjemahan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000.
Al-Munajjid, Muhammad bin Shalih, Silsilah Amalan Hati, terjemahan Baitus Salam, Bandung: Irsyad, 2005.
Al-‘Ied, Ibnu Daqiq, Syarah Hadits Arbain Imam Nawawi, terjemahan Muhammad Thalib, Yogyakarta: Media Hidayah, 2001.
Al-Qaradhawi, Dr. Yusuf, Berinteraksi dengan Al-Quran, terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Aziz, Muhammad Muslih, Mutiara Ilmu Bernama Shalat Sunah, Jakarta: Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika), 2007.
Dinsi, Valentine, SE, MM, MBA., M. Hariyanto, dan Iqbal Setyarso, Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian, Jakarta: LET’S GO Indonesia, 2004.
Dryden, Gordon, dan Dr. Jeannette Vos, Revolusi Cara Belajar, terjemahan Word++ Translation Service, Bandung: Penerbit Kaifa, 2003.
Golshani, Dr. Mehdi, Filsafat Sains Menurut Al-Quran, terjemahan Agus Effendi, Bandung: Penerbit Mizan, 2003.
Gray, John, Ph.D., How to Get What You Want and Want What You Have, Bagaimana Mendapatkan yang Anda Inginkan dan Menyukai yang Anda Miliki, terjemahan Drs. T. Hermaya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Hernowo, Self Digesting: Alat Menjelajahi dan Mengurai Diri, Bandung: Penerbit MLC, 2004.
Humaedi, Ahmad, Di Atas Langit Ada Langit, Bandung: MQS Publishing, 2005.
Jauzi, Ibnul, Al-Wafa, Kesempurnaan Pribadi Muhammad Saw., terjemahan Mahfud Hidayat dan Abdul Mu’iz, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Jauzi, Al-Aam Ibnu, Lautan Air Mata, terjemahan Amiruddin Abdul Jalil, edisi revisi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.
Lee, Supriadi, Opportunity Quotient, Jakarta: Media Sukses, 2006.
Losier, Michael J., Law of Attraction: Menguak Rahasia Kehidupan, Jakarta: Ufuk Publishing House, 2007.
Lucas, Bill, Optimalkan Otak Anda, terjemahan Vita Mayastuti, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2004.
Murakami, Kazuo, The Divine Message of The DNA: Tuhan dalam Gen Kita, terjemahan Winny Prasetyowati, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007.
Maguire, Michael, Making Teams Work, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia), 2004.
Nafis, Wahyuni Muhammad, 9 Jalan untuk Cerdas Emosi dan Cerdas Spiritual, Jakarta: Penerbit Hikmah (Kelompok Mizan), 2006.
Naistadt, Ivy, Jangan Takut Ngomong, terjemahan Sendra, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Nawawi, Imam, Syarah dan Terjemah Riyadhus Shalihin, terjemahan Muhid Dhofir, Jakarta: Cahaya Umat, 2006.
Nawawi, Imam, Adab dan Tata Cara Menjaga Al-Quran, terjemahan Zaid Husein Alhamid, Jakarta: Pustaka Amani, 2001.
Qadir, Muhammad Abdul, Panduan Doa Mustajab, terjemahan Abdul Wahhab, Bandung: Alif Media, 2004.
Sangkan, Abu, Pelatihan Shalat Khusyuk, Jakarta: Baitul Ihsan, 2006.
Sentanu, Erbe, Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia), 2007.
Schwartz, David J., Berpikir dan Berjiwa Besar, terjemahan Drs. F-X. Budiyanto, Jakarta: Binarupa Aksara, 1996.
Shihab, Dr. M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung: Penerbit Mizan, 2000.
Shodiq, Muhammad, Pelatihan Shalat S.M.A.R.T., Jakarta: Hikmah (Mizan Group), 2007.
Shodiq, Muhammad, Bershalatlah!, Jakarta: Hikmah (Mizan Group), 2006.
Suharto, Dedhi, Ak., Qur’anic Intelligence Quotient, Jakarta: PHA Press, 2006.
Syarief, Reza M., Live Excellent: Menuju Hidup Ideal, Jakarta: Prestasi (Kelompok Gema Insani), 2005.
Umar, Dr. H. Nasaruddin, 40 Seni Hidup Menuju Sukses, Semarang: Pesantren Karya & Wirausaha, Pasmak Indonesia, 2005.
White, Rupert Eales, The Effective Leader, terjemahan Emilia Sekti, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia), 2004.
Wibowo, Wahyu, 6 Langkah Jitu Agar Tulisan Anda Makin Hidup dan Enak Dibaca, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Wilson, Graham L., Problem Solving and Decision Making, Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan, terjemahan Damiano Q. Rosmin dan Soesanto, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia), 2004.
Zohar, Danah, dan Ian Marshall, Spiritual Capital, cet. ke-3, terjemahan Helmi Mustofa, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006.